Rabu, 08 April 2009

Mau Kemanakah, Kawan!


Ali Margosim Chaniago

Pergaulan bebas kian merajalelah, membobol jantung--merasuki jiwa—meracuni segenap akal sehat.
Saudaraku, kegelisahan jiwaku menatap fenomena berjangkit ini kian memburuk. Hal ini dikarenakan saya juga generasi muda, yang menjadi bagian dari generasi harapan bangsa ini. Dari waktu ke waktu rasa itu terus bergejolak dan tambah membengkak. Dari jiwaku ini, harapan besar bangsa yang kudengar selama ini dari pidato-pidato pembesar negeri ini semisal menteri pemuda dan olah raga, menteri pendidikan dan kebudayaan telah memandul sendirinya. Tak lagi menghujam ke bumi dan apalagi menjulang ke langit biru.
Kulihat, mereka yang sebaya denganku bangga dengan berkumpul kebo, hubungan di luar nikah, freeseks, hedonism, liberalisme, barat-baratisme,dan isme-isme neraka lainnya.
Nafasku kian sesak ketika kehormatan para gadis tak lagi dipertahankan. Dengan begitu gamblang menjadi barang obralan dipojok-pojok keramaian dan bangunan tua. Moralitas dan harga diri tak lagi menjadi kebanggaan. Sungguh telah hampir sama lenguhan kerbau dengan rintihan kemasyukan dan teriakan kesakitan prostitusi.
Saudaraku, lihatlah kebodohan ini dengan mata terbuka, hati terbuka dan otak waras. Dan, kau lihat pulalah ibu pertiwi menangis. Ya, ibu pertiwi bersedih sepanjang kau tak pernah berubah.
Kau sudah saksikan, bahwa bumi ini tak lagi seceriah di tahun-tahun awal kemerdekaan. Bumi telah sering marah, betapa sering ia menumpahkan banjir pada negeri ini, tanah longsor, gempa hingga tsunami sekalipun. Bumi tak lagi sesubur di zaman nenek moyang kita. Gersang dan tandus.
Lihatlah, lihatlah kembali bahwa ibu pertiwi belum berhenti menangis. Aku melihatnya, saya melihatnya dikala sang saka merah putih terpasang dan siap dinaikan. Saya melihatnya, dikala lagu kebnagsaan “Indonesia Raya” mulai dinyanyikan. Disaat itu, air mata ibu pertiwi kian deras, menatapmu sekalian, kita semua yang seolah-olah telah lupa dengan jati diri.
Saudaraku, kita orang Indonesia. Generasi pancasila, yaitu generasi yang mengaku dan berjanji setia untuk : Berketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Saudaraku, biarkanlah orang Amerika, orang Eropa, Rusia, dan lain-lain menjadi diri mereka sendiri. Sekiranya tidak perlu kita iri pada kevulgaran mereka, liberalisme mereka, dan freeseks yang menjadi kebutuhan mereka.
Seharusnya kita bangga dengan jati diri bangsa kita baik secara konseptual maupun kultural yang telah ada pada diri kita. Kita adalah bangsa yang berkebudayaan tinggi ditandai dengan masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai malu, ramah tamah, berjiwa social (tepa selira) tinggi, dan pintar-pintar. Negeri kita adalah negeri yang diberkati Tuhan oleh karena jati diri kita selama ini.
Saudaraku, mengapakah kita meninggalkan jati diri bangsa yang begitu tingginya, yang telah melekat pada bangsa ini? Bukankah ini merupakan peradaban mulia yang dicita-citakan oleh manusia sepanjang masa ? Lalu, atas alasan apakah kita bangga dengan budaya kebarat-baratan yang jelas-jelas sangat rendah/hina dihadapan manusia apalagi dihadapan Tuhan? Jawablah dengan nuranimu…
Mau kemanakah, Kawan!

Katakan Tidak Pada Kemalasan


Ali Margosim Chaniago

Saudaraku, betapa banyak orang yang kuat fisiknya di sekitar kita. Betapa banyak orang yang mampu secara material maupun non material diantara kita. Betapa banyak orang yang punya kesempatan diantara kita. Dan, Betapa banyak pula orang yang berkelebihan diantara kita. Namum tak sedikit diantara kita seolah-olah tidak menyadarinya. Fisik yang kuat, kekayaan materi, punya peluang, dan kelebihan lainnya seakan-akan berlalu seperti angin saja. Tak berbekas, tak membawa perubahan berarti untuk perubahan itu sendiri. Sementara hidup butuh perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah menjadi lebih baik hingga yang terbaik.
Rasulullah saw bersabda : “Dua nikmat manusia sering lalai atasnya yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”(HR.Muttafaqun ‘alaihi)
Sebuah kemenangan, prestasi terbesar hanya mampu digait oleh mereka yang jumlahnya sedikit. Mereka hanya dalam hitungan jari dari ratusan hingga ribuan orang yang berkesempatan. Tentu kita bertanya,”Kenapa hanya sedikit orang yang benar-benar berhasil?” Ada juga yang berani menyalahkan Tuhannya sendiri. Mereka berkata,”Tuhanmu telah berbuat tidak adil. Ia hanya mengasihi beberapa orang saja dari kami.” Mereka benar-benar lupa betapa Allah swt telah berbuat seadil-adilnya kepada mereka. Namum mereka masih saja mengumpat. Dan tetap pada kemalasan mereka.
MALAS-lah yang menjadi pemisah antara hopes dengan action sehingga tak pernah terwujudkan. Agenda tinggal agenda tersusun rapi dalam buku harian. Rencana tinggal rencana tak lagi digubris. Impian menjadi bumbu kekosongan prestasi. Tiap hari hanya bisa bermimpi tapi no action.
Saudaraku, malas bukanlah jatah kita. Kita diciptakan Tuhan bukan untuk bermalas-malasan, tapi melawan kemalasan. Kita ditakdirkan untuk selalu bergerak, berlari…dan menang. Itulah fitrah hakiki kita. Dengan demikian, segala kemalasan harus dibuang sejauh-jauhnya dari sekarang juga. Karena kita bukanlah pemalas. Katakan tidak pada kemalasan, yess pada perubahan.
If we take action, the miracles happen! Salam dahsyat.