Sabtu, 28 Februari 2009

Renovasilah Idealisme, Wahai Mahasiswa!

oleh Ali Margosim Chaniago

Idealisme merupakan komitmen yang mengakar kuat dalam diri yang terwujud dalam berbagai sikap dan tindakan. Idealisme seolah-olah menjadi harga diri bagi mahasiswa, dari dulunya hingga sekarang.
Idealisme mahasiswa dulu
Idealisme mereka terlihat pada berbagai pergerakan yang mereka lakukan. Dengan pergerakan yang terencana, tersusun rapi, dan dengan kesungguhan.
Pada zaman penjajahan Belanda, lahirlah gerakan Budi Utomo tahun 1908, dilanjutkan tercetusnya Sumpah Pemuda 28 oktober 1928. Kemudian, pergerakan mahasiswa angkatan ’66 yang meneriakkan Tritura(Tiga Tuntunan Rakyat), sekaligus penggulingan kekuasaan Soekarno, yang pada saat itu sudah ingin berkuasa seumur hidup. Angkatan ’74 yang menorehkan tinta sejarah MALARI (Malapetakan Lima Belas Januari) dengan tuntutan otonomisasi Negara dari intervensi asing dan penyikapan isu NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). Gerakan mahasiswa Indonesia angkatan ’78 pun memberikan sumbangan sejarah dengan mengangkat isu realisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan icon menolak Soeharto sebagai calon presiden. Dan akhirnya, angkatan ’98 mampu menghancurkan kekuasaan bercorak militer dan represif rezim orde baru dibawah naungan rindangnya pohon beringin selama 32 tahun, Soeharto. Gerakan mahasiswa pun berlanjut ke tahun 2001 dengan pencabutan predikat presiden dari Gusdur, gitu aja kok repot! (dhedhi.wordpress.com/2007/10/30)
Para mahasiswa pada dekade ini kiranya layak berpredikat negarawan. Pergerakan mereka semata-mata untuk negara. Sesuai dengan fitrah idealisme mereka, yakni merindukan negara yang aman, damai, makmur, dan berwibawa.
Idealisme mahasiswa sekarang
Idealisme mahasiswa sekarang telah diwarnai oleh kemilau kepentingan semu. Idealisme mereka terpecah menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang terus mengusung pergerakan. Pada kenyataannya, mereka yang seperti itu juga terpecah lagi menjadi dua golongan, yaitu dirinya untuk pergerakan, dan pergerakan untuk dirinya.
Mereka yang menobatkan dirinya untuk pergerakan. Merekalah orang yang jujur, tidak munafik, memegang prinsip, dan istiqomah. Benar tetap benar, dan salah tetap salah. Merekalah mahasiswa yang dirindukan kehadirannya oleh negara ini, guna memperbaiki keterpurukan bangsa ini. Merekalah mahasiswa yang menegarawan.
Lalu, bagaimana pula dengan pergerakan untuk dirinya. Inilah yang membuat kita patut bersedih. Hal ini bisa dilihat pada beberapa Petinggi BEM(Badan Eksekutif Mahasiswa), dan lembaga lainnya pada suatu Universitas di tanah air ini. Seketika aksi demontrasi, mereka bermulut lantang, menentang kebijakan-kebijakan yang melindas masyarakat, hingga sampai-sampai mereka menjadi poros penentang dari masyarakat terhadap suatu partai yang berkuasa. Tapi kenyataannya, setelah diketahui bermulut besar oleh suatu partai tertentu, lalu mereka dipinang, mereka tak beralasan untuk menolak.
Meminjam kata-kata Cecep Darmawan (dosen ilmu politik UPI),“Kalau dulu pemuda itu satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, maka sekarang pemuda itu satu rupiah. Artinya, dipersatukan oleh rupiah untuk melakukan suatu tindakan”. Kita boleh merinding mendengarkan pernyataan itu. Tapi, pada kenyataannya memang ada banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk demonstrasi karena didalangi oleh seseorang, atau sekelompok orang. Lalu, dimanakah ldealisme kita sebagai mahasiswa?
Kedua, mahasiswa EGP(Emang Gue Pikirin). Mereka mahasiswa egosentris, yang hanya mengutamakan egonya, individualistik. Di kampus, mereka terkenal dengan study oriented-nya, sehingga tidak mau tahu dengan dengan permasalahan bangsanya. Efeknya, lahirlah para generasi muda yang rapuh jiwa nasionalismenya.
Hal itu seiring-sejalan dengan tradisi kampus-kampus di negeri ini yang seolah-olah menjadikan nilai sebagai segala-galanya, bukan keprofesionalan. Selanjutnya, juga mengisyaratkan bahwa mahasiswa seolah-olah diarahkan jadi buruh, bukan pencipta lapangan pekerjaan. Inilah kesalahan fatal kampus-kampus di Indonesia yang terkesan mengadopsi sistem pendidikan kapitalis. Akibatnya, alih-alih akan berpikir untuk negara, memikirkan dirinya sendiri, tidak klop-klop. Lalu, dimanakah ldealisme itu?
Harapan buat mahasiswa
Mahasiswa sebagai agent of change (agen perubah), sangat dirindukan membawa perubahan yang berarti buat negeri dan bangsa ini. Sesuai dengan idealisme awalnya, yaitu merindukan negara yang aman, damai, makmur, dan berwibawa. Mahasiswa sebagai moral force (kekuatan moral), sedang ditunggu gebrakannya dalam menuranikan bangsa ini, yang tentunya diawali dari mahasiswa itu sendiri.
Keterpurukan bangsa ini akan berakhir bila segenap mahasiswa berani kembali ke idealisme sejatinya. Hanya dengan itulah, harapan negeri ini akan masih ada. Mahasiswa, ujung tombak penyelamat bangsa.
(Penulis adalah Pengamat pergerakan Mahasiswa)

Bagi semut saja, kecil tak berarti lemah!


oleh Ali Margosim Chaniago

Saudaraku, pernahkah mendengar cerita bagaimana semut mengalahkan gajah bahkan

membunuhnya hanya dalam hitungan menit? Cerita ini, cerita yang sangat menginspirasi saya

ketika di Sekolah Dasar. Saya yang sebelumnya tidak mau berbagi kue dengan teman, saking

pelitnya, akhirnya berubah total. Ceritanya begini :

Di sore hari, pada sebuah negeri tak bernama. Seekor semut duduk bersandar di atas

batu. Ia menatap ke bawah, dari kejauhan dengan ketinggian yang tak bisa ia kira seketika itu,

terlihatlah negerinya yang begitu indah. Sang semut menamakan dengan Kampung Damai

Indosemut. Si semut tersenyum lepas seraya berdoa : ”Jayalah kau kampungku, damailah kau

negeriku, sentosalah negeriku, lahirlah putra-putri bermoral sebanyak-banyaknya!..” Ia

terhentak.

Lantungan kaki yang keras, menggema, seolah-olah bumi sekitarnya bergoyang. Si

semut membalikkan badannya. Matanya terbelalak.

”Hei si kerdil malang, sedang apa kau disini?” tanya gajah dengan angkuhnya.

”Saya sedang melakukan perjalanan pulang sehabis dari barat daya.”

”Apa urusan kau?” tanya gajah lagi dengan angkuh tak berkurang.

”Mencari tahu sumber makanan yang melimpah.”

”Apakah kau hanya sendiri?”

”Ya untuk arah sini memang saya sendiri. Dan, para jenderal yang lain ada yang ke

timur, utara, selatan, tenggara dan barat laut.

”Wow..., hehehe.” Dengan nada sinis, si gajah melanjutkan pembicaraannya. ”Untuk

apa kau bersusah payah untuk negeri yang hanya seluas onggokan tahi saya itu ? Apakah kau

tidak ada pekerjaan sama sekali?” Ejek sang gajah.

”Tak peduli seluas dan sehebat apapun orang lain. Negeri kami adalah harga diri kami,

harga diri saya.’

”Ha..ha...ha. Seberapa berhargakah negerimu itu?” tanya gajah yang tak berkurang

angkuhnya itu.

”NYAWA KAMI.”

”Wow.... Tahukah kamu bahwa saya sangat benci dengan semut??”

”Tidak. Yang kami tahu kau selalu membunuh ratusan anak-anak kami di jalan-jalan, di

rumah-rumah mereka, di tempat permainan mereka hampir tiap harinya dengan kaki lebarmu

itu di berbagai negeri kami. Selama ini kami bersabar, karena kami menyadari bahwa kami

sangat kecil.”

”Lalu, apa yang kau banggakan?” tanya gajah kian brutal.

”Jumlah kami yang banyak. Tiap harinya, lahir jutaan putra-putri kami jutaan ekor.

Dan, kami kompak.” jawab semut terlihat senang.

”Hah, besok pagi akan kau amati bahwa seluruh negerimu akan lenyap!”

”Boleh, asalkan kau langkahi dulu mayatku!!!” teriaknya keras.

Gajah mengangkat kakinya hendak menginjak si semut jenderal itu. Tiba-tiba,

”Membunuhmu tak berarti apa-apa.”

”Dasar pengecut. Kau hanya tumpukan daging yang pengecut.” teriak semut

mengamati gajah yang meninggalkannya dengan cekikikan. ”Saksikanlah besok pagi, hei

makhluk tak beruntung.”

”Langkahi dulu mayatku.... langkahi dulu mayatku.... langkahi dulu mayatku.... langkahi

dulu mayatku...., langkahi dulu mayatku.”

Besok paginya...

Jutaan tentara semut telah ambil posisi. Ada yang bersiap di pintu gerbang negerinya,

bersembunyi dibalik daun berketinggian satu meter, satu setengah meter yang menargetkan

telinga lebar si raksasa, ribuan diatas menara yang siap syahid dengan melompat dengan

target hidung dan mata si raksasa, dan ratusan ranjau berupa parit berlubang.

Kabar terakhir : Gajah terkapar tak berdaya di Kampung Damai Indosemut, hingga

menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dari telinganya yang lebar itu keluar ratusan semut.

Dari hidungnya semut keluar seraya meneriakkan takbir kemenangan.

”Hidup Jenderal!” teriak rakyatnya.

”Damailah negeriku, sentosalah rakyatku!!!” doa sang jenderal. Wallahualam

bisshowab!

Dikarenakan Kita Mau, Maka Kita Bisa!

oleh Ali Margosim Chaniago

Dua kisah pembangun jiwa kepahlawanan buat mereka yang tak ingin hidup apa adanya.

al kisah pertama, seorang gadis bernama Wilmarudo, berkebangsaan Jepang. Sejak lahir ia telah lumpuh. Pada umur 9 tahun, ia belum bisa berdiri, apalagi berjalan. Tapi, si Wilmarudo ini ngotot ke mamanya. Ia selalu minta untuk diperiksa perkembangan fisiknya. Dan, ia katakan bahwa ia harus bisa berjalan dengan normal. Orang tuanya mengikuti kemauan anaknya itu. Dan, para dokter selalu mengatakan bahwa Wilmarudo tidak akan bisa berjalan seumur hidupnya.

Kesedihan meliputi hati gadis kecil itu. Namum, ia tetap berpengharaapan besar. Wajahnya menunjukkan hal demikian. Suatu hari mamanya mengatakan,”Wilmarudo, kalau anda yakin bahwa anda pasti bisa berjalan, maka Tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya.” Wilmarudo mengatakan dengan optimis,”Kalau begitu, suatu saat aku akan menjadi pelari wanita tercepat di dunia...”

Semenjak itu, ia selalu berjalan dengan duduk. Ia lakukan dengan penuh kegigihan. Kemudian belajar berdiri. Dengan memakai alat bantu ia belajar berjalan dengan tertatih-tatih. Ia melakukan hal itu sepanjang waktu.

Beberapa tahun kemudian, ia belajar berlari. Setiap kali jatuh, ia pasti bangun. Semua ini memang tidak gampang, butuh waktu yang lama. Namum, semangat mengalahkan rasa capek, bosan, dan lamanya berproses.

Suatu ketika ada lomba lari wanita di Jepang. Gadis itu pun ikut. Ia berada pada urutan terakhir. Dalam event yang sama, ia gagal terus. Banyak orang mengatakan,”Dasar tidak tahu diri, sudah gagal terus, ikut juga.”

Wilmarudo tidak berhenti. Ia terus berjuang. Pada suatu saat, Tuhan mengabulkan doanya. Pada event yang sama, ia menjadi pelari tercepat di negaranya. Selanjutnuya, ia mampu mengumpulkan tiga medali Pelari Wanita Tercepat di dunia. Subhanallah....!(Dikutip dari kaset"Impian",Louis Tendean)

Al kisah kedua, dikutip dari cerita masyarakat Minang. Cerita ini dari mulut ke mulut. Tidak dibukukan. Namum, amat populer. Dulu, di negeri Minang seorang anak lelaki bernama Bujang. Bujang di pondokkan Orang tuanya di salah satu rumah Syekh. Bertahun sudah ia mengaji. Namum, juz ’amma pun juga belum khatam. Syekh pun kewalahan dengannya. Sudah nggak pintar, juga amat nakal.

Bujang amat kagum dengan teman-temannya yang fasih bacaan Alqur’annya. Tiap harinya, Si Bujang masih saja mengulangi Juz ’amma. Syekh pun kerap kali memintanya untuk mengulang kembali ke ”Alif Ba Ta...” Akhirnya, teman-teman seangkatannya memanggilnya dengan sapaan Ali Ba. Bujang merasa terpojokkan dengan sendirinya.

Suatu pagi Syekh memerintahkan para santri untuk kerja bakti. Bujang tidak ikut. Ia berdiam diri dalam kamar. Ia mengemas semua barang-barangnya. Kemudian, ia melarikan diri lewat pintu belakang. Perjalanan yang akan ia tempuh, amat jauh. Dengan berjalan kaki, akan menghabiskan waktu 10 jam. Jalan yang ditempuh berkerikil besar. Dan di pinggir-pinggir jalan tersebut adalah hutan lebat. Cukup berbahaya. Ketika itu masih banyak ditemukan beruang.

6 jam, ia telah berjalan. Badan terasa capek, dan terik matahari yang melemaskan. Ia mampir di pinggir jalan. Ia mencari tempat duduk yang aman. Terlihatlah olehnya ada terowongan, menyerupai gua kecil. Ia tertidur. Datanglah Syekh Burhanudin. Syekh itu berkata,”Bujang, lihatlah air yang menetes itu.(Syekh menunjuk ke air yang menetes, yang dibelakangi Bujang itu. Jaraknya dua meter dari Bujang). Syekh menghilang. Bujang terbangun. Tanpa banyak pikir, mimpi yang membekas di hatinya itu membuat ia penasaran. Ia amati air yang menetes tersebut. Sebuah tetesan air itu mampu melubangi batu hitam yang amat keras tersebut. Hingga pada batu itu terdapat kolam kecil, yang ada makluknya. Nasehat Syekh yang amat mendalam. Air yang begitu lembut, tetesannya kecil mampu melubangi batu hitam pekat yang amat keras ini...” inilah yang terbaca olehnya, ”Mungkin inilah yang dimaksud Syekh. Aku tidak boleh putus asa,” tambahnya lagi.

Ia merenung sambil memukulkan ranting-ranting kayu lapuk ke tanah. ”Mungkin 2 tahun sebelumnya adalah tahap persiapan bagiku untuk menjadi Qori terbaik di seantero negeri ini”. Bujang berbalik arah. Ia kembali lagi ke pondok ngajinya.

5 tahun kemudian, nagari kami kedatangan Qori Internasional sekaligus Buya yang amat halus dan bijak perkataannya. Buya muda tersebut baru pulang dari Mekah. Ia diundang raja Abdullah, dalam pesta syukuran raja. Dialah Qorinya. Buya muda itu bernama Abdullah Ali Mufidz.(Dikutip dari cerita masyarakat Minangkabau, dari mulut ke mulut)

Disebabkan Harapan itu Masih Ada!

oleh Ali Margosim Chaniago

Saudaraku, pernahkah kita merenung sejenak untuk negeri ini? Untuk umat ini? Kita benar-benar sedih. Air mata mengalir begitu tak terasa, bathin kita seolah-olah memberontak, jiwa kita meletup-letup, berdecak-decak, berdentum-dentum, berharap akan terwujud akan sebuah perubahan yang berarti. Bukan sekedar reformasi, yang kian lama kian tak berarti, seperti kacang tanpa isi.
Mari kita amati. Kemerdekaan bangsa ini, RI, semenjak tahun 1945 hingga sekarang 2008. Tiap tahun, tepatnya 17 agustus, kita merayakan kemerdekaan. Di berbagai tempat, perayaan kemerekaan diselenggarakan. Tidak luput juga di istana kepresidenan. Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang notabene telah diakui secara de facto dan dejure. Nah, permasalahannya adalah benarkah bangsa ini sudah merdeka ?Sudahkah kita merayakan kemerdekaan itu dengan hati yang benar-benar merdeka? Maksud saya dengan hati yang tenang, lapang dan bahagia? Sekali lagi, usaplah dada kita, tanyakan, dan dengarkanlah jawabannya.
Saudaraku, menurut hemat saya, sampai detik ini lingkaran syethan penjajahan belum berakhir di negeri ini. Bangsa Indonesia masih terjajah sampai sekarang. Penjajahan dewasa ini lebih kompleks dan dampaknya lebih ganas. Ada banyak bangsa yang telah menjajah dan akan mau menjajah negeri ini. Kita namakan penjajahan non fisik, halus, sering membuat kita tertawa, tersanjung, namum mematikan. Lebih galak lagi dari virus Trojan di komputer anda. Sebelum kemerdekaan kita mengakui bahwa kita sedang dijajah. Namum sekarang, kebanyakan diantara kita seolah-olah tidak mengakui bahwa kita sedang dijajah karena tidak tahu.
Penjajahan ideologi, budaya, politik dan ekonomi sudah nampak nyata. Di bidang ideologi, dimanakah kini Pancasila yang notabene adalah ideologi bangsa ini. Di bidang politik, bukankah sebagian besar pemimpin negeri ini didikte oleh para pemimpin negara-negara barat sana. Di bidang ekonomi, cermatilah PT Freeport MC Moran Indonesia, milik pengusaha USA, yang telah bercokol puluhan tahun di negeri ini. Setiap harinya Freeport menjarah 200 kg emas murni( 24 karat ) dari tanah Irian Jaya. Mereka (pihak PT Freeport) telah membangun pipa raksasa sepanjang 70 KM yang berujung di Laut Arafuru. Di sana mereka membongkar emas, yang kemudian diangkut ke negerinya. Sesuai dengan kontrak karya II, Indonesia-Freeport, pihak Freeport akan terus seperti itu hinggga 2041. Tahukah kita, berapa bagian untuk Indonesia? Hanya 7 %, dan 93 % untuk mereka( Freeport).
Saudaraku, bukit yang ditumbuhi emas itu hanya menunggu waktu berubah menjadi lembah mematikan yang dihujani salju. Tidak hanya itu, limbah dari PT Freeport bila ditimbunkan ke kota Jakarta, Depok dan Bekasi. Maka tertimbunlah ketiga daerah itu setinggi 5 meter. Catatan berikutnya, limbah itu beracun dan menggersangkan tanah. Tahukah kita, bahwa banyak warga Irian yang menentang korporatokrasi ini hilang tanpa jejak? Tahukah anda kenapa pihak birokrasi mulai dari pemerintah dusun hingga presiden bahkan DPR hanya sebagai penonton?jawabannya, sungguh membuat emosi kita membludak. Sungguh, kita negara yang miskin ini, sudah memperkaya bangsa asing dengan kemewahan yang tak terhitung. Sementara saudara kita di Irian Jaya sekarang masih pakai koteka, karena sulitnya uang untuk membeli pakaian. Oleh sebab itu, seharusnya bangsa ini menangis di setiap 17 agustus untuk merenungi kezaliman ini?dan…merubahnya.
Tahukah kita tentang tambang gas kita di kepulauan Natuna. Ribuan ton gas dialirkan lewat pipa raksasa dengan panjang berkilo-kilometer, yang tembusnya ke Singapura? Berapakah untuk Indonesia? 0 %. Begitulah ulah PT. Exon Mobile yang diaminkan pemerintah negeri ini. Tahukah kita gaji seorang Lee Raymond, Direktur PT Exon Mobile selama 13 tahun di Indonesia? 6 Trilyun, 178 Milyar Rupiah. Sementara masyarakat kita, untuk makan saja tak sedikit yang makan nasi akik. Tahukah kita tentang pertambangan minyak Blok Cepu, Pertambangan minyak di Caltex, de el el yang taka mungkin saya tulis semuanya. Saya kira itulah kebobrokan bangsa ini bagian pertama. Bagian berikutnya, amatilah tingkat kebobrokan moral di negeri yang lagi-lagi menamakan diri dengan bangsa yang ramah tamah, dan berwibawa ini. Kita dengan gampang mengamati bahwa dua penyakit bahaya yang pernah disitir oleh Rasulullah saw telah telah terbukti adanya. Itulah penyakit Wahn.
Rasulullah saw bersabda :”Akan datang masa dimana kamu diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkuk.”Para sahabat bertanya,”Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasul?”Rasulullah saw bersabda, “Tidak, bahkan saat itu jumlahmu sangat banyak, tetapi seperti buih di lautan karena kamu tertimpa penyakit wahn. Sahabat bertanya,”Apakah penyakit wahn itu ya Rasul ?” Beliau menjawab,”Penyakit wahn itu adalah cinta dunia dan takut mati.”(HR. Bukhari Muslim)
Saudaraku, kiranya inilah jawaban yang tepat kenapa umat muslim pada umumnya dan Indonesia khususnya terpuruk dewasa ini. Jawabannya adalah dikarenakan sifat cinta dunia dan takut mati telah mengakar di lubuk hati umat ini. Akibatnya , realita berbicara, munculnya pemimpin yang korup alias rakus dan tamak, masyarakat yanag jauh dari syariat Allah.
Allah swt berfirman :”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan,…Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” ( QS. Al hadid 20)
Saudaraku, walau sebobrok apapun bangsa ini, kita tidak boleh berputus asa dari rahmad Allah. Bukankah kita terlahir untuk merubah kebobrokan itu?Ya, kitalah yang ditunggu-tunggu oleh ibu pertiwi. Negeri yang sedang meratap ini sedang melambaikan tangan kepada kita. Lihatlah. Oleh karena itu, mari kita ingatkan saudara-saudara kita yang lain tentang ini. Inilah jalannya, yaitu dakwah. Allah swt berfirman ,”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makhruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”(QS. Ali imran 110)
Saudaraku, bukankah Presiden Ir.Soekarno juga telah berpesan kepada kita.”Kutitipkan negeri ini padamu.” Ya. Kepada kita saudara-saudaraku, kader-kader dakwah. Mari kita wujudkan harapan negeri ini, songsong perubahan yang berarti utuk negeri ini. Saudaraku, tataplah dirimu, negerimu, dan harapan itu masih ada. Wallahualam! (Dari berbagai sumber, Ali margosim chaniago, Pengurus FLP Semarang)

Mari Bermimpi, Agar Kita Maju Saat ini Juga!

oleh Ali Margosim Chaniago

Bolehkah bermimpi? Siapa yang melarang. Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa telah menganugerahkan mimpi kepada setiap hambaNya. Artinya mimpi itu adalah fitrah dari Allah. Nah, setiap orang yang bermimpi adalah pertanda rahmad dari Allah. Maka setiap kita bermimpi, kita harus bersyukur kepadaNya. Seperti apa mimpi yang harus disyukuri itu. Banyak ustazd mengatakan, mimpi yang dimaksud adalah mimpi yang memotivasi, membahagiakan, menyadarkan(Ehm...alias insyaf ba’da bermimpi). Sebab, mimpi seperti itu adalah mimpi yang dibimbing oleh Allah SWT.
Mimpi adalah hiasan tidur, ujar Ibu saya. Saya nggak tahu, kalimat itu beliau kutip dari mana. Tapi, amat benar. Rasanya, kalau tidur tanpa mimpi seperti padi hampa, tidak bernas. Tidak ada kesan yang mendalam. Padahal, salah seorang Al Ustazd dari Minang mengatakan bahwa tidur itu adalah mati seketika. Ruh kita menghadap keharibaan Allah untuk sementara. Ngapain,ya?Ya...nggak tahu. Itu sih yang tahu hanya Allah, sebab Dialah yang menguasai jiwa, raga, dan alam semesta ini. Kita tinggal mengaminkan kehendak Allah SWT. Tapi, jangan khawatir, Sobat!! Udah tahukan bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?
Lebih kurang 8 jam, tidur versi dokter. 4 jam versi Imam Syafi’i, dan beberapa ulama besar dunia lainnya. Nah, beberapa jam tersebut agar ruh kita mendapat bimbingan dari Allah, maka selaku muslim dianjurkan berdo’a.
Aku kutip dalam kitab Durratun Nashihin. Rasulullah Saw, berkata kepada Aisyah.”Wahai Aisyah, janganlah kamu tidur diatas ranjangmu, sebelum kamu menunaikan 4 hal berikut: Pertama, mengkhatamkan Al qur’an 30 juz. Kedua, Haji dan Umrah ke Baitullah. Ketiga, meminta salam kepada Rasulullah. Keempat, menyalami kaum muslimin.” Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu yang kau maksud?” Rasululllah Saw menjawab,”Pertama, bacalah Surat Al Ikhlas tiga kali. Kedua, ucapkanlah tasbih-tahmid dan tahlil tiga kali. Ketiga, bacalah shaalawat kepadaku. Keempat, ucapkanlah do’a untuk kaum muslimin.”(Al Hadist)
Sobat!InsyaAllah, kamu akan tidur dalam bimbinganNya. Dan, selamat bermimpi dalam rahmadNya. Siapa tahu kita-kita yang masih jahiliyah mendapatkan ilham dari Allah berubah total, dan menjadi pemenang. Bisa saja kan?

Sobat!Bagaimana dengan mimpi horor? Ba’da bermimpi, keringat kuning bercucuran, mata bengkak, badan benar-benar capek, nafas terengah-engah. Seharian merana. Sibuk memikirkannya. Wah busyett...!So, jangan lupa berdo’a.
Sobat!Mimpi adalah hiasan hidup. Bagaimana dengan yang dihias, alias Si Pemimpi. Adakalahnya kata Si Pemimpi kurang tepat digunakan. Karena kata itu biasanya digunakan untuk yang bersipat jamak. Tapi, tidak apa-apa. Bagi saya itu sah-sah saja digunakan. Alasannya, saya yakin sobat sering bermimpi baik siang hari maupun malam hari. Baik ketika tidur maupun ketika duduk sendirian. Melamun maksud saya. Ini sudah mimpi yang amat dahsyat. Pada saat itu, dalam waktu yang sekejab, saudara sudah melalang buana ke Negeri Kangguru(Australia) terus ke kanan menuju Negeri Hugo Chavez(Venezuela), terus ke negeri Paman Sam(Amerika Serikat), terus ke negeri Mendiang Putri Diana(Inggris), belok ke Bekas negeri Fir’aun(Mesir), next...Ka’batullah terus ke Semarang lagi. Bahkan lebih dahsyat lagi saudara berpiknik ke langit pertama ketemu dewa burung. Langit kedua ketemu dewa angin. Langit ketiga ketemu dewa air. Hingga ke langit ketuju, ketemu dengan dewa tertinggi. Maaf, nih menurut teman-temanku yang Hindu.
Kunjungan yang luar biasa. Bahkan ada teman saya dalam waktu tujuh menit. Ia telah menakhlukan perjalanan ke Surga dan Neraka. Sayangnya, ia kesana tidak bawa sandal. Akhirnya...nggak bisa singgah di surga. Padahal, ia sudah amat berharap seperti Nabi Idris(He he he maaf). Nabi Idris dan surga Firdaus. Nabi Idris dengan sengaja meninggalkan sandalnya di surga. Agar ia bisa berbalik lagi melihat surga. Ingat hanya untuk melihat. Dan tertinggalnya sandal itu bisa menjadi alasan kepada malaikat Ridwan untuk masuk lagi ke surga. Kalau tidak demikian, ia tidak akan dapat melihat lagi. Sebab, waktu pasportnya dah habis. Perjanjian dengan malaikat Jibril sudah mendekati deadline. Apa boleh buat.
Sobat!
Nabi Idris berhasil. Ia diberi kesempatan untuk kedua kalinya menginjakkan kakinya di surga. Jika Allah mengizinkan. Ia akan masuk surga yang ketiga kalinya sesudah kiamat. Luar biasa. Ialah Nabi yang mampu memecahkan rekor ke surga. Ngambil sandal kelamaan...akhirnya, Nabi Idris mendapat teguran dari Allah. Karena Allah, maka Nabi Idris kehabisan nyali. Ia kembali ke bumi. Ruhnya kembali menyatu dengan jasad. ”Alhamdulillah...”ujarnya.
Sobat!Cerita di atas saya kutip dari perkataan seorang Ulama dari Minang. Materi ini saya dapatkan saat kajian rutin malam jumat.
Kembali ke pemimpi!Sobat senang memimpikan apa? Apakah pernah seperti yang saya terakan diatas? Nih, saya akan bercerita tentang seorang pemimpi. Ia masih bujangan. Ia sedang menimba ilmunya di negeri rantau ini.
Pagi hari yang amat indah. Mentari pagi di kota ini menyeruak ke setiap celah. Menerangi kota dan jiwa-jiwa yang bersungkur. Embun pagi sebening permata jatuh berderai ke bumi khatulistiwa. Mengkilau diterpa mentari menyilaukan mata. Indah. Bunga melati indah. Semerbak harum mewangi mengalir ke hati. Di taman itu seorang Pujangga berdiri. Untaian kata-katanya, dan bisikan hatinya pada dunia ini:
”Andaikan suatu saat saya menjadi pemimpin di negeri ini. Saya tidak rela di pagi nan indah ini melihat anak-anak meminta-minta. Bapak-bapak meminta-minta. Ibu-ibu meminta-minta. Anak-anak meminta. Saya tidak rela melihat para pemulung berkeliaran semenjak shubuh. Pagi nan indah jangan dikotori. Saya akan mengumpulkan mereka di kantor gubernur. Saya akan memaksa mereka olah raga pagi bersama saya, makan pagi bersama saya, bersenda gurau dengan saya, berbagi cerita dengan saya, dan berdoa bersama yang dipimpin oleh Kiyai. Selanjutnya, saya mengundang mereka tiap awal bulan. Dan, saya mewajibkan seluruh perangkat pemerintah daerah hadir dengan membawa amplop masing-masing. Semua pejabat harus memilih salah satu diantara mereka sebagai teman bercerita selama tiga jam tersebut. Pejabat yang sukses parameternya adalah siapa yang paling dicintai, disayangi oleh para pemulung, anak yatim, anak terlantar, dan kakek-nenek jompo tersebut. Saya akan membentuk tim khusus penilai yang independent.
Para anggota dewan yang katanya wakil rakyat itu juga saya himbau. Semoga ia semakin sadar. Sebenarnya dia duduk di gedung itu untuk apa. Untuk kekayaannnya atau untuk kesejahteraan rakyatnya. Selamat rakyat...
Kalau tidak ditakdirkan jadi pemimpin. Saya lebih memilih jadi pengusaha. Saya akan memulainya dengan usaha kecil-kecil dulu. Seperti perkebunan Lidah buaya, coklat, cengkeh. Mungkin awalnya cukup dengan sepuluh karyawan. Mereka yang bekerja dengan saya adalah orang-orang desa yang berekonomi lemah. Mereka akan saya didik untuk terampil, jujur, dan disiplin, dan saling berkasih sayang. Tidak cukup itu, mereka saya didik untuk shalat yang khusuk, giat tadarus, dan suka membantu orang lain. Nah, untuk mewujudkan ini saya akan meminta mereka ikut kajian di rumah saya. Yang bisa saya sendiri yang medidik, dan kuundang para Kiyai, Syekh, atau Ustazd. Harapan saya, mereka tidak hanya diberi gaji tapi juga dikokohkan imannya, akhlaknya, dan ilmunya. Saya bilang ke mereka bahwa kita adalah satu keluarga. Untung saya adalah untung mereka. Dan rugi mereka juga rugi saya.
Ehmmm...kalau takdir Allah lain. Saya ditakdirkan jadi PNS(Pegawai Negeri Sipil). Maka saya harus disiplin, jujur, dan kerja keras. Saya harus datang tepat waktu. Saya tidak mau mengurangi jam kerja, dan untuk menambahinya pun kalau saya mampu. Katakanlah waktu dinas di kantor 7 jam. Saya harus 7 jam. Sebab, bila saya menguranginya berarti saya berdosa. Gaji yang saya terima tidaklah halal bila saya curang sekalipun itu uang negara. Ketahuilah uang negara adalah uang rakyat. Rakyat saja yang mati-mati membayar pajak ini dan itu, banyak yang mati busung lapar. Kekurangan gizi, tidak mencicipi pendidikan layaknya seperti saya. Ah...saya malu. Kalau saya curang, saya jauh lebih hina dari pada yang berkaki empat.
Saya harus jujur. Milik kantor adaalah milik kantor, sekalipun itu hanya sebuah pena. Saya tahu bahwa itu bukan milik saya. Pada suatu saat nanti saya akan ditanya tentang pena itu. Dengan apa harus saya jawab, karena memang bukan milik saya. Tapi, milik rakyat.
Saya harus kerja keras. Karena saya manusia yang beruntung, bisa mencicipi dunia pendidikan. Padahal, rakyat banyak yang tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya. Saya tahu, saya bisa sekolah dengan enjoy karena disubsidi rakyat...Oh, rakyat...saya akan bekerja keras untukmu...”
Sang pujangga itu terbangun dari lamunannya. Ia bermimpi menjadi seorang gubernur yang langka di bumi seantero ini. Ia bermimpi menjadi pengusaha yang berhati emas. Ia bermimpi menjadi PNS yang amanah. Kita berdoa kepada Allah semoga Allah mengabulkan salah satu mimpinya, dan juga mimpi-mimpi kita. Amin Ya Rabbul ‘Alamin....

Orasi Fajar, Semangat Kebangkitan!

oleh Ali Margosim Chaniago

Rabu, 04 juni 2008
Diambang fajar menyongsong Shubuh. Pukul empat tepat oleh jam dinding di Wisma Al kautsar. Rumah kontrakan kami, mahasiswa elektro Undip. Di kontrakan itu kami berjumlah sepuluh orang. Aku melangkah menuju Masjid Istiqomah yang berjarak seperempat kilometer dari wismaku itu. Angin dingin merasuk ke hati, seolah-olah sekujur tubuhku hendak membeku. Dingin, membuatku pucat pasi. Dengan tubuh menggigil kuteruskan jua langkah yang terbata-bata itu.
Daun-daun pepohonan, daun-daun bunga meliuk-liuk berirama diterpa angin fajar. Padanya menetes banyak titik air. Dan tak hanya itu, titik-titik kecil hujan pun terasa menimpa kulitku yang kuning langsat ini. Kutatap langit lazuardi hitam pekat seolah-olah menumpahkan air bah ke kelurahan kecil kami ini. Hatiku berdecak gamang, mengingatkanku akan kekerdilan diriku yang menatap seketika itu.
Kulanjutkan langkahku lebih cepat, sembari berharap hujan tidak turun di pagi ini, supaya Masjid seramai hari-hari sebelumnya.
Sebentar lagi aku sampai. Kembali kutatap langit. Ia masih seperti tadi. Si raksasa hitam legam itu tidur menutupi planet manusia ini. Titik-titik hujan pun makin terasa, dan hembusan angin makin kuat, menggoyangkan pohon-pohon disepanjang jalan, bunga-bunga indah dan lampu-lampu pijar, pernik-pernik dinding rumah bergoyang-goyang. Aku makin bersiaga, siap-siap berlari bila air bah langit menimpa dari ubun-ubun kepala.
Sudah jauh aku berjalan dan semakin dekat dengan Masjid, belum seorang pun juga kutemui yang membersamaiku menuju Masjid. Tikus-tikus berlarian menuju lorong-lorong air. Ukurannya besar-besar, hanya saja aku tak tahu mengapa kucing-kucing disini tidak begitu agresif. Para kucing cenderung mengacuhkan tubuh-tubuh gemuk dan segar tikus-tikus itu. Para jangkrik tak kalah pula, ia menyanyi dan bersahutan. Para kodok pun bertembang dengan suaranya yang serak, dan bagi pemula terutama mahasiswa baru mendengarkannya bisa membuat bulu kuduk berdiri, dan bisa tidak tidur semalaman .
“Pada kemanakah mereka?” hatiku bertanya-tanya. “Mungkin belaian mimpi masih merasuki taman hidupnya!” “Ataukah merekah tidak berani keluar rumah, masih enggan dan akan membentangkan sajadah di rumah saja? Tidak tahu.”
Ah, aku tak ambil pusing. Aku yakin, sebentar lagi jamaah yang lain pada menyusul di belakangku. Kudapati Masjid masih tertutup. Masjid yang cukup besar itu, diterangi oleh empat buah lampu gantung disepanjang pinggirnya. Di dalam Masjid itu gelap. Ba’da shalat sunnah Tahiyatul Masjid. Gema adzan dari Masjid lain telah terdengar. Aku pun mulai mengumandangkan adzan. Jamaah satu persatu berdatangan. Tiba-tiba lampu listrik mati. Takmir Masjid tampak gelisah. Ia mencari dan mencari yang bisa dijadikan lampu disaat shalat didirikan. Waktu terus berjalan, tiga perempat Masjid itu telah berisi jamaah. Telah menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Kami tak lagi akan menunggu listrik hidup. Dibalik temaram cahaya sebatang lilin, shalat shubuh kami mulai. Pak Masruri, Takmir Masjid itu menjadi Imam kami.
“Allahu akbar,”takbiratul ihkram diucapkannya. Jamaah pun mengikuti. Aku merasa khusyuk dan berharap khusyuk hingga selesai. Seolah-olah juga begitu dengan jamaah yang lain, yang tak terdengar batuk, deheman. Tenang dan damai. Cahaya lilin yang redup, antara hidup dan mati. Sewaktu-waktu cahayanya seolah-olah menari-nari akibat diterpa angin lewat ventilasi dan pintu Masjid. Hal ini menjadi sensasi baru bagi kami.
Pada deti-detik selanjutnya...
Ketenangan menghilang. Mencekam. Istana kekhusyukan di hati-hati, terutama di hatiku bergetar hebat, guncah, hilang. Suasana baru datang. Ia melibas, menggoyangkan iman-iman di dada. Lantunan ayat nan indah dan fasih oleh sang Imam terdengar tak lagi dapat dinikmati. Keindahan itu bercampur noise-noise keras melengking seperti orasi Si Panglima perang. Bahkan gendang-gendang telinga minta ditutup dengan tangan. Semua jamaah menjadi gelisah dan susah bisa khusyuk. Kalaupun ada yang bisa khusyuk mungkin satu-dua orang. Dan itulah orang-orang yang luar biasa keimanannya. Beberapa diantara jamaah terpancing tertawa-tawa yang ditahan-tahan. Beberapa diantara mereka keluar dari shaf dan berwudhu lagi. Itulah akibat dari ketawa ditahan-tahan, dimana angin akan menumpuk di lambung, dan dengan energi dari ketawa tersebut, akhirnya angin tersebut tertekan kebawah. Lalu keluarlah sulfur itu alias kentut. Ada yang terus berdehem. Sang imam, kedengarannya pun tak bisa khusyuk. Sang Imam tak lagi indah bacaannya, beberapa kali ia salah dan pada ayat terakhir dari surat Al kaafirun. Terus berulang-ulang ia baca, dan seolah-lah tak tahu ayat terakhirnya. Inilah kondisi pada rakaat kedua, yang benar-benar parah dibanding rakaat pertama. Kemudian salam. Selesailah shalat shubuh kami tunaikan dengan perjuangan yang maha berat itu.
Listrik kembali menyala. Pak Masruri berputar 360 derajad menghadap ke arah kami. Kejengkelan hatinya terbersit dari percikan rona wajahnya yang hampir berkeriput itu. Jamaah yang lainnya tak sedikit pula seperti Pak Imam, kembali tertawa tanpa suara, terkikik-kikik, dan ada pula yang tak ambil pusing.
Jamaah ibu-ibu, rata-rata sudah pada usia berkepala lima. Beliau-beliau itu keluar duluan penuh kejengkelan dan membujuk orator ulung yang sudah berpoak-poak itu, bermandikan keringat, dan suaranya menjadi parau, seringkali terbatuk-batuk, dan sepertinya batuk-batuk keras itulah yang menghentikan orasinya berdurasi sepuluh menit itu.
Sesudah berzikir, aku tidak lagi melihat batang hidung sang orator ulung itu. Dari Pak Imam aku tahu, bahwa sang orator ulung itu sudah sering seperti itu.
Langit tak lagi mendung. Si raksasa hitam telah bangun dari tidurnya dan pergi entah kemana, yang jelas hari telah cerah. Fajar merekah menyemburatkan cahaya kemerahan bening diufuk timur. Indahnya, seolah-olah hingga ke petala langit ke-tujuh. Awan-awan berarakan putih laksana selendang sutera bidadari nan lembut, bersih, suci, dan amat indah.
Aku sedang merenung di atas bukit itu, di bawah pohon yang tak kuketahui namanya. Disanalah aku seolah-olah dalam pertapaan panjang. Sementara mentari bergerak meninggi dan selangkah mendekat ke ubun-ubunku.
Kembali kuingat-ingat, kueja-eja, dan kurenungkan isi pidato dari sang orator ulung tadi Shubuh. Sang orator yang luar biasa dan diluar kebiasaan. Shalat shubuhku tidak khusyuk dibuatnya. Sering terbayang olehku bagaimana gerakan tangannya, kesigapan langkahnya, kedipan dan lototan matanya, serta seberapa banyak air matanya yang keluar.
Aku mengakui, aku tidak khusyuk dalam shalatku tadi pagi. Aku memang masih jauh dari kesempurnaan. Orang sepertiku tiba-tiba bisa terenyuh, terhempas ke batu karang, lalu tenggelam kelubuk keruh hanya gara-gara orasi sang orator ulung yang diluar ambang batas kebiasaan itu.
Aku tak memikirkan jemaah yang lain. Seperti apakah mereka aku tak tahu pastinya. Yang jelas, sang orator yang meletup-letup itu tak bisa ditandingkan dengan Presiden kita, Ir.Soekarno dalam berpidato atau Barack Husein Obama, Zainuddin MZ dan lain lain. Tentulah sang orator yang satu ini menempati peringkat teratas. Sayangnya, ia berpidato tidak di istana negara, saat upacara kemerdekaan, Forum-forum resmi, dan mimbar-mimbar Masjid. Ia berpidato di halaman depan Masjid, dikala shubuh didirikan, gelap-gulita karena listrik mati dan rintik-rintik hujan.
SAUDARA ingin tahu apa yang disampaikannya:
Inilah yang masih kuingat:
Huuuu....!
Hai saudara-saudara yang masih ada nurani dihatimu. Dengarkanlah suara-suara kami yang terjerat, yang terjerit, yang terbesuk, yang terzholimi, yang tak terperhatikan, yang ternodai, yang terlukai, yang tertindas, yang terlindas, yang menangis, dan yang meraung-raung.
Assalamualaikum,
Semesta puja dan puji untuk Tuhan Penguasa Jagad Raya. Salam penghargaan untuk Kanjeng Pangeran Gusti Nabi Muhammad salallahi ’alaihi wassalam. Salam, kasih dan sayang untuk saudara-saudara yang sedang sujud kepada Tuhan. Dan aku yang sedang berorasi untuk mengingatkan kalian. Agar kalian tidak lupa diri. Sehingga kalian tahu, siapa diri kalian, kepada siapa kalian menyembah. He he he, itulah makanya saya tak pernah berputus asa berorasi.
Baiklah, saudara-saudara...
Demi keagungan langit dan kekacauan bumi. Kuwarnai matahari, bulan dan bintang-bintang dengan samudera kata-kata. Menenggelamkan benua-benua dan pulau-pulau membangun semestanya.( Intonasi suaranya meliuk-liuk seperti dedaunan diterpa angin, berjenjang-jenjang, berdecak-decak, berdentum-dentum)
Pada kesempatan ini akan kusampaikan tujuh bab untukmu duhai saudara...(diucap dengan meletup-letup)
BAB SATU : HARTA
Hei saudara-saudara yang sedang sujud. Apakah kalian mengira dengan sujud Tuhan langsung mengampuni dosa-dosamu. Semudah itukah, hah?He he he..., hi hi hi...Kalau hanya sujud yakni dengan kau bungkukkan tubuhmu hingga sama tinggilah kepalamu dengan kakimu. Itu percuma, he he he...Percuma saja. He he he...hi hi hi...,karena toh, hatimu belum kau sujudkan kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Besar, Allah swt.
Pernahkah kau menginap-merenungkan, bahwa masih sering kau menyembah harta. Kau gunakan kekuasaanmu demi harta. Aku tak ambil pusing apapun jabatanmu. Yang jelas, tak sedikit dari kalian menyembah bersama jabatanmu kepada harta. Siapa pun dirimu, ingatlah...
Tidakkah kalian mengakui, bahwa ini benar? Ah, DASAR MUNAFIK.
Saudara, karena kalian muslim yang taat, saya yakin bukanlah kalian orang yang saya maksud. Tapi, he he he...hi hi hi...saudara masih belum bisa berkilah berlepas diri dari tanggungan. Lihat tetangga, sanak famili kalian yang pejabat-pejabat, dari pejabat RT hingga juragan pejabat. Sudahkah kalian menjalankan tugas seperti saya menjalankan tugas. Saya mengingatkan kalian. Kalian sudah mengingatkan mereka? Itu tanggungan kalian, jangan sok-sok bodohlah. Jangan sok-sok tak tahu. Itu tanggungan kalian, yang akan menjadi dosa bagi kalian.
Hei...(kira-kira matanya melotot, suaranya melengking seolah-olah gendang telinga retak, sakitnya terasa bagi kami yang masih berdiri betul pada rakaat kedua)
Lihat,lihatlah oleh kalian...
Rumah mereka mengkilat, besar sebesar istana kepresidenan, berlantai-lantai, huh...aksesorisnya serba mewah. Mereka berjalan berjingkat-jingkat di dalamnya, bertele-telekan suami istri, mereka bersandal dalam rumah. Lihat saya, saya saja sekarang tidak punya alas kaki, ditanah yang bergetah ini, yang dingin ini.
Mereka, mereka masih berpeluk-pelukan suami istri, diatas springbad setebal roda truk fuso. Pakaian bagi mereka tak apa kurang bahan, padahal harganya melangit.
Saudara tahu, tahukah...
Mereka semua, mereka adalah penjilat. Mereka penghisap darah. Mereka pemakan bangkai. Darah dan bangkai kami(dengan nada mulai datar, ia memulai lagi)kau lihat sendiri tubuh-tubuh kami telah banyak yang kurus. Kami dilanda anemiah, busung lapar, kurang gizi. Lihatkan? Ya, ini gara-gara mereka.


BAB DUA : TAHTA
Tak lama lagi kita akan melaksanakan pesta demokrasi, katanya. Mereka ngomong memang seenaknya saja. Apa mereka tahu bahwa demokrasi itu ciptaan dan propaganda manusia-manusia dari keturunan yang suka berjemur di pantai, dari barat sana. Ihhh...Indonesia malah ikut-ikutan mereka dengan melengahkan apa yang telah kita miliki. Kau pasti tahu hati yang bersujud. Itu ayat-ayat yang kau baca. Amalkanlah. Ya, Alqur’an itulah yang menjadi pegangan kalian. Dasar bodoh!!
Ya, yang bodoh tentu bukan kalian kerena kalian masih bersujud dihadapannya. Tak usah berpanjang-panjang, saya katakan untuk pilgub nanti, pilihlah gubernur yang pakaiannya seperti kalian berpakaian, yang sujud seperti kalian bersujud, yang polos seperti polosnya kalian, tak tahu berbelit apalagi mudah beringsut. Yang baik akhlaknya, seperti kalian yang tahu macam-macam. Pilihlah gubernurmu dengan mata hatimu. Dan...jangan dengan mata kepala sebab kau pasti tertipu. Ingatlah...



BAB TIGA : WANITA
Wanita, ya kami wanita. Tubuh kami indah mempesona. Jangan pernah munafik bahwa laki-laki tidak senang dengan wanita. Memang, itu sudah kodrat. He he he. Tapi, tahukah kalian, kami terpaksa menjadi wanita-wanita komersial. Penghuni-penghuni hotel. Kami dipaksa dan terpaksa menjual tubuh. Tubuh kami digerenyangi. Sistem tidak memihak kepada kami, pemerintah diam dan membiarkan. Pemerintah lebih agresif mengurus poligami daripada tubuh kami yang kerap ditelanjangi dan terpaksa aborsi. Kemiskinan terus menjerat kami.
Kami tahu bahwa kami salah, tapi mau bagaimana lagi. Kami dibiarkan. Kami tahu islam adalah solusi. Tapi, pemerintah tak pernah bersungguh-sungguh untuk menjadi pemerintah yang islami.
Maka ini adalah tugas kalian, wahai yang bersujud...
Aku tersentak dari lamunanku. ”Tak semua orang gila itu gila, dan orang gila itu tak selalu gila. Dan semoga anak-anaknya segera membelikan lagi obatnya, dan shubuh besok Mbah Martini tak lagi berorasi...”
Aku berlari...

Nasionalisme di kampus kampus

oleh Ali Margosim Chaniago

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.”
(Pepatah nasonal)

Indonesia adalah bangsa besar yang tidak hanya terdiri dari pulau-pulau, penduduk pun tak kalah besar. Disamping itu, juga didukung oleh budaya, suku, agama yang beraneka ragam. Ini menjadi bukti besarnya bangsa ini. Disamping besar, Indonesia juga kaya raya. Dunia menyebutnya dengan Negeri Zamrud Khatulistiwa. Berbagai barang tambang dan kekayaan lainnya dari dulu telah menjanjikan bangsa kita, Indonesia, untuk menjadi negeri yang makmur, aman dan sentosa. Kemakmuran bangsa ini berabad-abad sebelumnya telah dibuktikan oleh para raja-raja besar dahulu kalanya. Baik kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang tersebar diseluruh kepulauan nusantara.
Katakanlah, kerajaan Sriwijaya. Kegemilangan, prestasi kerajaan ini mengantarkan nusantara sempat menguasai Asia Tenggara dan sekitarnya. Rakyat pribumi makmur, hingga rakyat daerah yang diintegrasikan pun ikut termakmurkan.
Kerajaan demi kerajaan berkuasa silih berganti. Kemakmuran rakyat tetap terjaga hingga datanglah para penjajah, bangsa tak berkeprimanusiaan dari barat sana. Salah satunya Belanda dengan VOC-nya. Mereka menjarah kekayaan Indonesia 3,5 abad lamanya, dan ditambah pula oleh Jepang 3,5 tahun lamanya. Dan, sekarang bagaimana? Katanya, sekarang kita sudah merdeka. Apakah benar kita sudah merdeka? Oke, jawablah dengan hati nurani dengan melihat paada realita yang ada.
Kembali kita ke persoalan utaama yaitu nasionalisme. Dari awal saya sudah membangun sebuah prolog untuk anda, dan sekarang saya lanjutkan.
Setelah berabad-abad dijarah oleh bangsa kolonial, kita masih bisa menikmati sisa-sisanya yang notabene masih menjanjikan kita untuk meraih impian hidup makmur, damai dan sejahtera. Impian ini sebenarnya adalah impian mereka-mereka yang mengorbankan darah, jiwa, raga, harta dan nyawa mereka untuk kita. Darah mereka mengalir deras dimana-mana, pekikan maut dan tangis mereka pecah dimana-mana,dan bangkai mereka rapuh tak tahu dimana. Merekalah yanag meninggalkan impian untuk kita. Mereka adalah para pahlawan bangsa ini.
Impian merekalah, para pahlawan kita, membuat cita-cita kita masih ada. Harapan itu masih ada. Maka sudah selayaknya kita katakan, pahami dan wujudkan, pepatah berikut
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.”
Adalah tugas kita semua sebagai pewaris negeri ini untuk menyambung amanat dan cita-cita para leluhur kita. Namum ada hal penting yang tidak selayaknya kita lupakan yaitu menghargai jasa para pahlawan kita.
Dewaasa ini, bila kita cermati di sekolah-sekolah, kampus-kampus, lembaga pemerintahan ataupun instansi lainnya, penghayatan dan penghormatan kepada para pahlawan bangsa semakin memudar. Fakta sederhana yaitu dikala pengibaran sang saka merah putih. Kita tahu, moment pengibaran bendera merah putih hanya beberapa kali saja dilaksanakan pada tataran kampus, lembaga pemerintahan atau instansi lainnya di negeri ini. Pada sekolah dasar dan sekolah menengah masih dilaksanakan pada setiap hari senin. Yang menjadi pokok permasalahannya adalah pengibaran sang saka merah putih hanya sebatas ceremonial. Seolah-olah tidak ada penghayatan. Tidak ada ruh, semangat yang mengaliri para generasi bangsa ini untuk melanjutkan cita-cita para pahlawan bangsa ini.
Bila kita ingin iseng-iseng survei. Akan terbukti dengan sendiri, sangat besar prosentase para siswa bahkan mahasiswa tidak mengenal dasar negaranya sendiri, tidak tahu butir-butir pancasila, apalagi hafal UUD’45. Tanyakan juga tentang para pahlawan bangsa ini dan daerah asalnya. Pasti susah. Bedebah!!
Hal-hal diatas, saya rasa bukanlah masalah sepele. Tapi, butuh penggemblengan dari berbagai unsur terkait baik sistem pendidikan, para dosen, para guru, para pejabat, dan masyarakat bangsa ini.
Satu efek saja bisa kita cermati langsung. Lihat, betapa tidak sedikitnya mahasiswa yang memilih jurusan tertentu tanpa di dasari alasan nasionalisme. Maaf, hanya mengikuti trend, dan pasar!
”Mengapa anda memilih jurusan A?”
Mereka menjawab,”Karena banyak dibutuhkan oleh perusahaan asing.”
Mereka menjawab,”Karena gajinya besar.”
Mereka menjawab,”Karena lagi trend-nya, dan teman-teman gue pada mengincar jurusan itu..”
Tapi, amat jarang sekali kita dengar,”Saya pilih jurusan ini karena saya ingin membangun negeri saya. Di negeri saya banyak emas, yang suatu saat saya adalah Presiden Direktur perusahaan emas itu. Di negeri saya banyak Minyak, Batu bara, Gas, Bauksit, mangan, dan lain-lain. Di negeri saya tanahnya subur, maka harus diberdayakan. Agar suatu saat nanti masyarakat Indonesia tidak akan pernah lagi membeli beras ke negara lain. Di negeri saya, lautnya luas dan kaya raya, maka harus diberdayakan untuk kepentingan bangsa ini. Masyarakat indonesia harus makmur pada tahun-tahun yang akan datang. Dan lain-lain!”
Pernahkah kita mendengar para mahasiswa menerangkan alasannnya seperti diatas, ketika ditanya mengapa ia memilih jurusan A atau B? Ini secuil bukti, sekaratnya nasionalisme di kampus-kampus. Sahabat, silahkan kalian temukan bukti-bukti lainnya.
Bagaimana dengan sahabat, sahabat bisa riset lapangan sendiri!!!
Tulislah....
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
Al hamdulillah!

Mulai saat ini, narsis itu penting!

Sudahkah kita membaca koran hari ini? Terserah koran apa. Atau membaca majalah? Atau kalau sahabat tidak begitu hobi membaca. Menonton tentu suka kan? Yup, 99,999 % diantara kita adalah suka menonton. Ya...setidaknya menonton berita.
Begitupula dengan saya. Saya suka membaca dan juga suka menonton. Sahabat, ada banyak hal yang membuat saya salut pada media diatas. Salut yang membuat saya risih, khawatir, dan secara tidak langsung ditantang. Mengapa demikian? Karena begitu menjamurnya kemaksiatan. Banyak orang yang begitu percaya diri dengan pemikirannya yang liberal, kapitalis, dan sekuler. Jelas-jelas bertentangan dengan falsafah negara kita, Pancasila.
Kita melihat, begitu percaya dirinya seorang artis berpakaian mini sembari cekikikan di televisi. Tidak hanya itu, mereka dengan gamblangnya berangkulan dan maksiat lainnya padahal mereka jelas-jelas tidak semuhrim. Mereka (Para selebritis, pen) begitu antusias dan percaya diri memerankan adegan-adegan seperti itu, tanpa ada rasa malu. Tanpa merasa punya tanggung jawab moral sedikitpun. Seolah-olah mereka tidak tahu, tidak memikirkan efek buruknya bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat yang bernotabene sopan dan ramah tamah. Bukankah Indonesia dulunya dikenal dengan keramah tamahannya?
Ya. Indonesia adalah negara yang ramah tamah. Hal ini harus kita pertahankan. Oke, kita kembali lagi ke perbincangan kita. Sahabat! Kalian sudah paham kan, apa yang saya maksud. Nah sekarang, hal utama yang menjadi wacana di benak kita adalah mereka begitu bersemangat dan percaya diri dalam maksiat. Kita sepakat bahwa semua itu adalah konspirasi yang terorganisir. Tetapi sekarang mari sejenak kita pilih-pilih secara parsial saja. Karena bahasan ini sangat luas.
Sahabat, jikalau dalam kemaksiatan saja orang begitu narsis. Bagaimana dengan kita yang sudah selayaknya membentengi dari dari tipu daya mereka. Kita yang mengazamkan diri dalam memperjuangkan kebajikan, membela agama Allah dan melindungi generasi bangsa dari kebiadaban ini. Apakah kita diam-diam saja cukup dengan menonton sembari berpangku tangan.
Sahabat, konspirasi mereka begitu terorganisir. Mereka akan dipastikan menang dalam pertarungan ini, jikalau kita tidak ambil tindakan. Kita harus menyadari kebenaran yang dianugerahkan oleh Khalifah Ali Ibnu Thalib:
”Kebenaran yang tidak terorganisir, akan mampu dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir.”
Mereka begitu narsis, alias tampil percaya diri diberbagai media. Mereka akan cepat menjadi publik figur, yang akan dicontoh banyak generasi bangsa ini. Hal ini jelas-jelas racun peradaban ini. Kita tidak menginginkan hal ini, kita harus menyatukan tekad guna membentengi bangsa ini dari konspirasi ini. Salah satu Langkah solutif permasalahan ini adalah semua kita harus mengazamkan diri untuk menjadi publick figur kebajikan. Mulai detik ini juga, kita harus narsis. Tampil narsis dalam kebajikan, maksud saya. Para ikhwah harus memasyarakat. Figurnya dikenal publik, dan menjadi referensi utama dalam keteladanan. Pada iklan dan poster acara, tamapilkan sosok-sosok ikhwaha kiata. Berbagai acara, ikhwah harus menjadi tonggak utama terlaksananya acara itu. Ikhwah harus narsis dengan akhlaknya yang memukau, comunication skillnya, sisi akademisnya, dan jaringannya yang luas.
Ikhwah harus membiasakan diri menulis di berbagai media. Sekalipun hanya pada bagian ‘surat pembaca’ tidak apa-apa.dan, berbagai aktivitas lainnya yang mendukung dakwah ini. Terakhir, satu kalimat untuk ikhwah sekalian,’Mulai saat ini, narsis itu penting!”
Wallahualam!

Kiprah Pemuda Sebagai Muslim Negarawan

Oleh Ali Margosim Chaniago

Pemuda adalah harapan bangsa. Di tangan merekalah terletak baik dan buruknya suatu bangsa. Ketika pemudanya baik, maka baiklah bangsa itu. Sebaliknya, bila pemudanya buruk(berakhlak buruk, red), maka tinggal menunggu datangnya kehancuran.
Bila dibuka lembaran sejarah, diketahuilah bahwa lahirnya suatu peradaban di bumi manapun tidak terlepas dari peran pemudanya. Beberapa contohnya sebagai berikut :
-Revolusi industri di Inggris digerakkan oleh pemuda. Pemudanya berpacu dalam teknologi. Mereka diantaranya adalah Alexander Graham Bell, James Watt, dan lain lain.
-Revolusi Perancis, atau lebih dikenal dengan revolusi pemerintahan. Revolusi ini digerakkan oleh para pemuda yang berjiwa nasionalis. Merekalah yang menggulingkan raja Louis XVII ; yang akhirnya dieksekusi mati.
-Di Jepang. Setelah negeri Sakura itu diluluh lantakkan oleh tentara sekutu dengan bom atom, mulailah dunia memandang Jepang sebelah mata. Jepang telah lumpuh. Dunia pessimis Jepang akan bangkit. Pessimisnya masyarakat dunia di dukung oleh fakta ilmiah. Radiasi uranium, remanansi molekul atom masih aktif hingga sekarang, walau dalam takaran kecil. Dengan semangat Bushido Jepang bangkit kembali. Semangat yang dikobarkan Kaisar Tenno Haika itu, tidak terlepas dari dukungan pemudanya
-Di Indonesia. Perjuangan untuk merebut kemerdekaan hingga pembacaan teks proklamasi juga atas dukungan pemuda. Begitupula halnya dengan peralihan kekuasaan dari orde lama (orde campuran) ke orde baru (orde diktator) hingga ke orde reformasi (orde kurang terkontrol) juga digerakkan oleh pemuda, khususnya Mahasiswa.
Sobat muda!!Presiden RI 1, Ir. Soekarno mengatakan,”Berilah aku 10 orang pemuda, akan aku guncangkan dunia.” Merujuk pada pernyataan tersebut, Ir Soekarno mengakui bahwa eksistensi pemuda dalam suatu negeri menentukan masa depan negeri tersebut. Pemuda sebagai aset bangsa yang paling berharga harus mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai kalangan. Para generasi tua berkewajiban memberikan pendidikan yang layak, mengajarkan moral dan akhlak, dan keteladanan. Jelaslah, bahwa pemuda adalah tonggak perubahan suatu bangsa. Dengan bangga kita mengatakan,”Pemuda adalah harapan bangsa, dan pemudi sunting negara.”
Merujuk pada pernyataan,”Pemuda adalah harapan bangsa.” Kuantitas yang besar tidak berarti mengalahkan kualitas. Artinya, jumlah pemuda yang besar pada suatu negeri tidaklah bernilai apa-apa, ketika tidak ada atau sedikit sekali yang berkarya, mandiri, dan profesionalisme, serta berakhlak tinggi.
Menurut hemat saya, pemuda yang diharapkan itu harus memenuhi dua syarat utama sebagai berikut: Pertama, kehadirannya tidak menambah masalah. Kedua, kehadirannya memberikan solusi atas masalah yang ada.
”Bukanlah pemuda seseorang yang membanggakan Bapaknya. Tetapi, pemuda itu adalah mereka yang menunjukan inilah aku.” (Imam Ali Bin Abu Thalib)
Renungkan potongan kalimat Inilah aku! Tidaklah bijak jikalau kita memahaminya sebagai sikap keangkuhan. Tapi, telaahlah lebih dalam! Potongan kalimat tersebut memiliki makna komitmen kuat yang diiringi tindakan untuk berprestasi.
Sobat muda!!
Imam Syafi’i mengatakan: ”Hidupnya pemuda itu adalah karena dua hal. Pertama, ilmu. Kedua, takwa. Jikalau kedua hal itu tidak dimilikinya. Maka pemuda itu sesungguhnya adalah mati.”
Dari pernyataan diatas, menurut Imam Syafi’i ada dua hal mutlak yang harus dimiliki oleh para pemuda, yaitu ilmu dan takwa. Bagaimana halnya, jika hanya salah satu yang dimiliki? Realita menjawab, lahirnya pemuda yang setengah manusia.. Pemuda seperti ini belum memenuhi kriteria pemuda harapan bangsa. Pemuda yang berilmu tapi tidak berakhlak akan melahirkan Para Fir’aun baru. Hal ini permasalahan besar. Takwa tanpa ilmu adalah omong kosong. Ketakwaan lahir dari pemahaman yang dalam dan jelas.
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, baik laki-laki maupun wanita. Dan, tidak ada batasan umur dalam menuntut ilmu. Rasulullah menegaskan, ”Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat.” (HR Muslim)
Lebih dalam tentang ilmu. Sebuah pepatah arab berbunyi,”Al ilmu nur.” Dalam bahasa Indonesia, ”Ilmu itu adalah cahaya.” Cahaya adalah penerang dalam kegelapan. Itulah hakikat ilmu. Pemuda yang menjadi harapan bangsa adalah pemuda yang berilmu. Dengan ilmu yang dimilikinya, diharapkan mampu membawa bangsanya menjadi bangsa ”Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur.” Bangsa yang aman dan makmur, dan dibawah lindungan Allah.
Sobat muda!
Kita tidak rela dicap sebagai pemuda yang bodoh. Kita juga tidak mau diadu domba lantaran tidak berilmu. Sejarah membuktikan hancurnya kekhalifahan islam di Turki delapan dasawarsa yang lalu, hanyalah karena propaganda bangsa-bangsa barat. Dengan slogan ”The sick Man” dari bangsa barat, Mustafa Kemal Pasya menanggalkan jati diri bangsa Turki, dan berlutut menjadi bangsa lain. Patutkah hal ini dicontoh? Masih adakah harga diri sebagai seorang kesatria? Jawablah dengan nurani kita masing-masing. Diakui, satu kesalahan pemuda Turki di saat itu, yakni mengabaikan ilmu. Jangan mimpikan pengalaman pahit itu terulang lagi.
Disamping berilmu, pemuda juga harus bertakwa kepada Allah SWT. Kalaulah ilmu telah menerangi kegelapan di alam semesta; agar mampu menerangi setiap celah dan lorong di bumi; dan dirasakan terangnya oleh setiap makhluk; maka harus dilengkapi dengan takwa.
Al Imam Al Ghozali rahimakumullah mengatakan,”Bantinglah otak mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna mencari rahasia besar yang terkandung di dalam benda besar yang bernama dunia ini, tetapi pasanglah pelita dalam hati sanubari, yaitu pelita kehidupan jiwa.”
Apa gerangan pemuda Indonesia? Baiknya kita amati dulu bangsa ini, Indonesia, maka akan tercermin pemudanya. Negeri kita kaya dengan konflik. Tiap waktu selalu saja menambah konflik. Konflik lama belum selesai, yang baru terus datang bertubi-tubi. Sebut saja busung lapar, kenaikan harga sembako, kekurangan air bersih, banjir, gempa, tanah longsor, sampah longsor, tsunami, kapal laut tenggelam, pesawat udara terjatuh, DB(Demam Berdarah) berjangkit, aids dan HIV, Narkoba merajalela, miras, Korupsi menjadi trend, skandal seks, hingga TKW yang tersiksa di luar negeri. Point-point diatas datang silih berganti, membentuk sebuah siklus, yang mata rantainya belum terputuskan. Inilah PR bangsa, PR kita.
Pemuda, pilih gelembung atau gelombang? Kalimat ini merupakan analogi cerdas, sederhana, dan bermakna dalam. Kita tinggal pilih. Apakah kita ingin memilih gelembung atau gelombang. Ketika pemuda memilih gelembung, artinya pemuda hanya bisa bergerak di tempat. Pemuda, khususnya mahasiswa hanya mampu aksi demonstrasi. Aksi turun ke jalan-jalan, berorasi hebat di lapangan terbuka, menyuarakan aspirasi rakyat di depan gedung DPR-DPRD. Aksi selesai, buku agenda ditutup. Tidak ditemukan langkah jitu selanjutnya. Itulah gelembung itu, yang hanya bisa bergerak di tempat. Beruntungkah kita memilih jadi gelembung?
Lain halnya ketika pemuda memilih gelombang(Baca: aksinya seperti gelombang). Gelombang bersifat dinamis. Ia selalu bergerak ke depan tanpa hentinya dari waktu ke waktu. Ia selalu bersih dan membersihkan. Begitupula halnya dengan pemuda, kita. Segala aspirasi yang kita tuntut, aksi turun ke jalan, dan orasi yang ditampilkan merupakan tahap pertama. Kemudian dilanjutkan tahap-tahap berikutnya. Semuanya terencana dengan baik. Kita harus memahami akan pesan Imam Ali Bin Thalib berikut :”Kebenaran yang tidak terorganisir, akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir.” Saatnya pemuda belajar dari gelombang.
Selaku pemuda yang diharapkan negeri ini, seyogyanya kita menyikapi kondisi negeri yang carut-marut ini sebagai berikut:
Pertama, bijaksana. Sebuah keharusan bagi kita untuk beralam luas, berpandangan lapang. Kita sebagai agent of change(agen perubahan) harus mengetahui masalah-masalah pokok di negeri ini. Kita seharusnya berpikir dan merenungkannya. Kita berjuang untuk mampu memberikan solusi praktis buat bangsa ini.
Kedua, senantiasa bersiap dan siap. Kepada seluruh pemuda. Kita harus menyadari bahwa ada empat hal yang harus ada pada diri kita. Keempat hal itu adalah iman, ikhlas, semangat, dan amal. Point-point tersebut adalah karakter utama pemuda. Pemuda yang baik selalu mengevaluasi dirinya. Sudahkah kita memiliki iman yang kuat, ikhlas, senantiasa bersemangat, dan melakukan amal kebajikan dalam berbagai aktivitas.
Dalam mengintrospeksi diri, kita harus tahu akan hal-hal berikut: Pertama, dasar keimanan pada diri adalah nurani yang menyala. Kedua, dasar keikhlasan adalah hati yang bertakwa. Ketiga, dasar semangat adalah perasaan yang bergelora. Keempat, dasar amal adalah kemauan yang kuat. Introspeksi diri adalah langkah solutif dan prestatif. Orang yang selalu memuhasabah dirinya, maka ia akan mengenal dirinya. Siapa saja yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.
Sobat muda!!
Pemuda yang senantiasa mengintrospeksi diri, ia akan mengenal siapa dirinya, dan mengenal Tuhannya. Bagi mereka ada tiga keuntungan spesial sebagai berikut:
Pertama, mereka terhindar dari propaganda barat; yang dengan sengaja berhasrat melumpuhkan pemuda-pemuda islam. Lihat saja narkoba, miras, pergaulan bebas, seks bebas, valentine days, hedonisme, majalah playboy, judi, dan lain-lain, merajalela di Indonesia. Bangsa barat dengan sifat wahn-nya, berlomba-lomba membangun jembatan konspirasi terhadap pemuda, “kita” maksud saya.
Kedua, mereka termotivasi untuk selalu memperbaiki diri. Introspeksi diri mendidik pemuda untuk berjiwa pembelajar. ”Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu.”(Al Hadist). Hadist ini mengingatkan kita semua pada Imam Hasan Al banna. Suatu ketika seorang wartawan meminta beliau untuk menjelaskan siapa dirinya kepada masyarakat. Beliau menuturkan,
”Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiaannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air dibawah naungan islam yang hanif.
Akulah lelaki bebas yang telah mengetahui rahasia wujudnya, maka ia pun berseru,’sesungguhnaya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagiNya. Kepada yang demikian itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Inilah aku. Dan kamu, kamu sendiri siapa?”
Imam Hasan Al banna menunjukkan hakikat manusia seutuhnya. Beliau memberikan keteladanan kepada pemuda untuk beridealisme, berani, taat, dan tangguh. Selanjutnya, ungkapan beliau tersebut memberikan motivasi luar biasa. Pada kalimat terakhir,”Dan kamu, kamu sendiri siapa?” Kalimat itu beliau lontarkan dengan gagah, berani, dan menantang para pemuda menunjukan jati dirinya.
”Kamu sendiri siapa?” Tidak bijak, jikalau kita langsung menjawab dengan begitu saja. Sekalipun jawaban kita itu luar biasa sekali. Sebaiknya, pertanyaan itu kita hujamkan ke hati sanubari. Kita ulang berkali-kali melafalkannya. Kemudian, pikirkan dengan apa pertanyaan itu akan kita jawab.
Perlu kita renungkan, apa yang akan kita persembahkan dalam hidup ini. Jhon F.Kennedy menuturkan,”Janganlah kamu tanyakan apa yang negara berikan buatmu, tapi tanyakanlah apa yang telah kamu berikan kepada negara.” Agar kita tetap bersemangat, bukalah kembali buku Shirah Nabawi, atau buku yang mengandung kisah teladan para pejuang tangguh.
Sobat muda!Cermatilah Khalifah Abu Bakar yang mempersembahkan seluruh hartanya sembari berkata,”Untuk keluarga saya sisakan Allah dan RasulNya.” Luar biasa!!
Salah satu sahabat Rasullulah Saw bersenandung, tatkala pedang musuh telah menempel di lehernya.
”Dan aku pun tiada peduli
Tatkala terbunuh sebagai muslim
Dalam keadaan bagaimana jua
Pangkuan Allah-lah tempat robohku.”
Sekiranya pedang berkilau hendak menggorok leher anda dalam peperangan. Pernahkah terpikir bahwa anda akan bersenandung seperti dia? Jawablah dengan jujur. Bagi anda yang senang menonton. Tonton jualah film”The Last Samuray.” Beranikah anda seperti Katsumoto? Ia lelaki yang taat, disiplin, dan pemberani. Ia mengabdikan dirinya, sepenuhnya kepada kaumnya. Luar biasa!!
Saya terkesan dengan penuturan P.M Inggris, Winston Chouchil, orang yang berpengaruh pada Perang Dunia II. Ia mengungkapkan dengan lantang. ”Saya tak memiliki persembahan apapun selain darah, kerja keras, air mata, dan keringat.” Begitulah mereka. Bagaimana dengan kita? Kita tentunya tidak ingin tidak berpartisipasi buat negeri ini. Marilah sejenak berfikir, apa yang akan kita berikan buat negeri ini.
Saudara, kita adalah Muslim Negarawan. Tahukah kamu maksud saya? Mengutip hasil pemikiran Pahlawan Proklamator dan Bapak Bangsa almarhum Mohammad Hatta, dalam kehidupan negara ada tiga kelompok yang berperan. Pertama, kelompok ahli, teknorat, dan birokrat. Kedua, kalangan politisi. Ketiga, negarawan.
Bapak Hatta memperjelas,”Loyalty to my party ends when loyalty to my country.” Kesetiaan seseorang kepada partainya harus berakhir kalau ia kemudian menjadi negarawan. Penjelasan diatas masih membingungkan. Siapakah negarawan itu sebenarnya? Politisikah? Orang bijak mengatakan, antara politisi dan negarawan terdapat perbedaan yang jelas. Politisi berbicara tentang kemenangan yang akan datang. Sedang negarawan berbicara tentang generasi yang akan datang.
Dengan demikian, Muslim Negarawan adalah sekelompok muslim yang setia terhadap negaranya. Mereka tidak dibatasi oleh kelas sosial, umur, dan penghargaan.
Saudara, siapakah lagi yang akan membicarakan, memikirkan generasi yang akan datang, kalau bukan kita? Kitalah orangnya, jangan tunggu lagi yang lain. Saudara akan bosan. Katakanlah, kitalah Muslim Negarawan itu.
Sebagai Muslim Negarawan, kita berazzam untuk mempersembahkan yang terbaik buat negeri ini. Ada beberapa point yang bisa kita berikan buat negeri ini:
Pertama, Moralitas yang tinggi. Pemuda harus tahu mana yang hak dan mana pula yang bathil. Pemuda harus memiliki jiwa moralitas tinggi sebagai anak bangsa. Harapannya, agar tidak ada KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bila telah membaur dengan generasi tua; yang sebagian selalu setia dengan gelar tambahannya, yaitu koruptor. Tunjukkanlah kesetiaanmu terhadap negara dengan moralitas yang tinggi.
Sobat muda!!
Berbicara tentang moralitas pada dasarnya adalah membicarakan akhlak. Akhlak adalah parameter harga diri seseorang dalam hidupnya. Akhlak yang baik adalah kepribadian yang baik. Kepribadian yang baik adalah kemuliaan hidup yang sejati. Kepribadianlah yang paling berharga pada diri seseorang. Harta yang banyak bukanlah jaminan kemuliaan hidup seseorang, karena harta adalah fitnah, maka harus berhati-hati. Lihat saja Qarun, betapa banyak hartanya, namum Allah mencapnya dalam Alqur’an sebagai hamba yang hina dina. Jabatan bukanlah jaminan kemuliaan hidup seseorang, karena jabatan adalah juga fitnah. Betapa banyak orang cerdas, yang akhirnya diseret ke dalam tahanan.
Berbeda dengan akhlak yang baik. Ia adalah fitrah Tuhan kepada hambaNya. Setiap hamba dibekali untuk menjadi terhormat karena akhlaknya. Sobat!Marilah kita serukan ke umat ini bahwa kemulian itu, bukan karena harta, bukan karena jabatan, bukan karena tampang. Tapi kemulian itu adalah karena akhlak yang baik. Siapapun mereka dan darimana pun, yang paling mulia adalah yang paling baik akhlaknya. Akhlak yang baik adalah parameter kesempurnaan iman seseorang. Rasulullah saw bersabda:
”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”(HR Tirdmizi)
Al Ustazd Rahmat Abdullah berpesan kepada segenap pemuda di seantero negeri ini. Pesan beliau tertuang dalam bentuk syair berikut:
”Merendahlah,
Engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau dipandang orang
Di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal dirinya rendah hina.”
Sobat muda!
Kedua, Berjiwa nasionalisme dan patriotisme. Pemuda harus bangga dengan bangsanya sendiri. Rasa memiliki, senasib, dan sepenanggungan adalah jiwa mereka. Keanekaragaman yang ada, diantaranya suku, agama, ras, budaya, serta pulau yang berjajaran dari sabang hingga merauke adalah mutlak menyatu kepada”Bhinneka Tunggal Ika.” Bagi Muslim Negarawan, mengorbankan harta, tenaga, pikiran, dan sekalipun nyawa adalah ibadah. Dengan demikian, pupuklah jiwa nasionalisme dan patriotisme anda.
Sobat muda!
Ketiga, Berpartisipasi dalam kontrol sosial dan stabilitas politik. Pemuda, kususnya mahasiswa berhak berpartisipasi dalam kontrol sosial dan stabilitas politik. Hak mahasiswa untuk mengusulkan ide, gagasan, dan teguran terhadap pemerintah. Mahasiswa sebagai kaum intelektual adalah kebanggaan masyarakat. Mahasiswa adalah garda terdepan kekuatan masyarakat terhadap kesewenangan pemerintah dan sistem yang busuk. Aksi demonstrasi adalah hak mereka selagi dilakukan sesuai dengan aturan yang ada.
Di negeri ini kita bisa melihat peranan mahasiswa. Realita menunjukan, mahasiswa belum berhasil totalitas dengan perannya dalam melakukan kontrol sosial dan stabilitas politik dalam negeri ini. Analoginya, mahasiswa baru mampu mengganti sopir bus. Setelah bus berjalan. Bus meninggalkan mereka. Sopirnya melambaikan tangan. Mahasiswa hanya diam terpana. Kedepannya, pemuda khususnya mahasiswa diharapkan lebih merapatkan barisan dan teratur. Dengan demikian, akan muncullah pemimpin yang menyatu dengan barisan mahasiswa; untuk sama-sama memajukan bangsa ini.
Sobat setia!
Keempat, karya anda. Sesuatu yang kita hasilkan dalam waktu tertentu, berwujud, dan bisa dirasakan langsung mamfaatnya oleh masyarakat, dan berpotensi untuk dikembangkan. Hal ini dikategorikan karya nyata. Bisa jadi anda adalah seorang penemu, atau perancang sesuatu, dan lain lain. Sebagai contoh, obat-obatan, alat/pesawat sederhana, jenis pupuk baru, makanan bergizi, software, dan lain lain. Yang jelas, persembahkanlah karya nyata anda. Nggak usah khawatir siapa anda, dan sekecil apapun yang bisa anda berikan. Berbuatlah dengan diri anda. Sebagai renungan buat kita semua, Bapak H.M. Anis Matta, LC mengatakan,”Berprestasi di tengah keterbatasan adalah kepahlawanan dalam bentuk yang lain.”
Bapak B.S Wibowo, mengungkapkan:”Jangan sampai kita meninggal tanpa menghasilkan jejak-jejak sejarah dalam hidup kita.”
Dalam hal ini, marilah kita berkomitmen:”Wahai para pejuang sekalian....berkaryalah untuk Allah, Orang Tua, Masyarakat, Agama, bangsa dan negara ini. Dan janganlah kamu mati sebelum benar-benar berkarya.”
Kelima, Keikhlasan dalam pengabdian. Setelah anda meraih profesi setinggi-tingginya, maka abdikanlah sepenuhnya untuk negeri ini. Sebagai guru, jadilah guru yang terbaik. Sebagai hakim, jadilah hakim yang terbaik. Sebagai pengusaha, jadilah pengusaha yang terbaik. Begitupula dengan yang lain. Apapun profesi yang kita miliki, maka selalulah berusaha untuk memberikan yang terbaik dengan profesi tersebut.
Sobat Muda! Jangan khawatitr, kita bisa mempersembahkan yang terbaik walau siapa pun kita, dan dari manapun kita. Yang jelas, tentu ada syaratnya agar kita tidak rugi dalam hidup ini. Inilah sobat; benar prosesnya dan ikhlas niatnya. Sebuah komitmen hebat Sang Muslim Negarawan itu menurutku adalah mempersembahkan diri dengan ikhlas di jalan Allah SWT.
Sobat muda!
Keenam, persiapkan diri menjadi pemimpin. Sobat, akankah kamu akan bertanya, bahwa menjadi pemimpin itu harus tua? Tidak. Hancurkan paradigma jahiliyah ini. Justru yang mudalah yang memimpin.
Alasannya: Pertama, yang muda yang berani. Masih ingat peristiwa Rengasdengklok. Sebuah peristiwa, pemuda menculik Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dan diasingkan ke Rengasdengklok. Yang akhirnya, terumuskanlah Naskah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa ini. Coba bayangkan, kalau para pemuda itu ambil diam. Mereka mengaminkan celotehan para golongan tua yang banyak takutnya. Mungkin Trauma. Besar kemungkinan Bangsa Indonesia belum merdeka sampai Jepang menjajah lagi. Bangsa ini butuh mereka-mereka yang berani memetakan bangsanya seperti apa, dan berani mewujudkannya.
Kedua, yang muda itu energik.
Ketiga, Yang muda itu jujur. Mereka belum terkontaminasi, darahnya masih merah. Tidak abu-abu, atau merah tua.
Saatnya yang muda yang memimpin bangsa ini, bukan yang tua. Yang tua banyak traumanya, karena sudah lama hidup, apalagi yang sudah berbau kain kafan. Yang tua tidak layak untuk menjadi pemimpin, apalagi diatas 55 tahun. Sesuai dengan perjalanan umur, yang tua kesehatannya berkurang, dan daya ingatpun tidak sebaik yang muda. Para Bapak-Bapak yang sudah tua layak untuk menjadi Penasehat yang muda-muda.
Sobat sekalian!
Mari kita tengok tokoh-tokoh fenomenal dunia ini. Di usia mudalah mereka mengukir persembahan terbaik dalam hidupnya.
Usamah Bin Zaid. Di usianya yang menginjak 18 tahun. Ia dinobatkan oleh kaum muslimin sebagai Panglima Perang, dalam agenda perang melawan Romawi. Ribuan tentara islam tunduk dalam perintahnya.
Muhammad Fatih Al murad. Di usia 24 tahun, ribuan kaum muslimin di bawah komandonya mampu merebut Konstantinovel.
Imam Hasan Al Banna. Di usia yang amat muda untuk sebuah pergerakan terbesar sepanjang sejarah. Organisasi yang fenomenal dan disegani dunia. Pengaruhnya hingga ke pelosok-pelosok negeri di dunia ini. Itulah organisasi yang bernama Ikhwanul Muslimin. Imam Hasan Al Banna adalah pendirinya, sekaligus memimpin organisasi itu untuk beberapa dekade. Sobat...ini hanya beberapa contoh saja.
”Setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya.”(HR. Muslim).
Sebagai pemuda sejati, kita menyadari bahwa masing-masing kita adalah pemimpin. Kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri, pemimpin keluarga, hingga pemimpin bangsa. Jadikanlah diri anda pemimpin yang baik, teladanilah Rasulullah Saw dalam memimpin dunia.
Mempersiapkan diri menjadi pemimpin bukan berarti meminta kekuasaan. Namun, adalah kewajiban setiap muslim. Sedangkan meminta kekuasaan adalah hal yang dilarang. Rasulullah Saw berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah,
”Wahai Abdurrahman, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi, jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR.Bukhari-Muslim)
Dibalik semua itu ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan. ”Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya...”(QS.Al baqarah 286). Ketika kita sudah mempersiapkan diri. Dalam hal inilah Sunnatullah berlaku. Mereka yang berkompeten akan dicari oleh kekuasaan itu sendiri sesuai dengan prosedurnya.
Sobat muda!Masihkah ingat ketika malaikat berani mempertanyakan kepada Allah tentang penunjukan manusia sebagai Khalifatul Ardhi.
”Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malailat, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka bertanya,”Mengapa Engkau hendak Menjadikan(Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”Tuhan berfirman,”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al baqarah 30)
Malaikat amat khawatir, kalau Bumi ini dipimpin oleh manusia. Mungkin, karena sifat manusia yang angkuh, sombong, tamak, dan tidak pandai bersyukur kepadaNya. Dengan demikian, wahai sobat sekalian, janganlah kita biarkan kekhawatiran para malaikat Allah tersebut menjadi kenyataan. Kita sanggup untuk itu. Karena kita dikaruniai potensi oleh Allah SWT. Ingatlah Firman Allah Yang Maha Indah.
”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kepasikan dan ketakwaannnya,”(QS.Asy Syams 8)
Yang manakah yang akan kita gunakan? Tentunya jalan ketakwaan. Prinsip utama yang harus kita miliki dalam setiap beraktifitas adalah memimpin itu adalah ibadah, dan menjadi pemimpin adalah jalan untuk beribadah. Nah, untuk menjaga prinsip ini harus dengan hati yang senantiasa mengharap keridhaanNya, menilai kekuraangan diri secara objektif, dan selalu memperbaiki diri.
Dengan demikian, Muslim Negarawan bila diamanahi untuk memimpin sesuatu dalam level apapun, maka ia amat menjaga keteguhan prinsip hidupnya. Segala kemampuan yang ada dikerahkannya. Ia teringat seperti apa Khalifah Umar dalam masa kepemimpinannya, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah, dan lain-lain.
Ketuju, taat dan sadar hukum. Hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tujuannya untuk mencapai masyarakat yang berkeadilan, dan sejahtera. Hukum ada untuk dipatuhi. Begitulah secara teroritis. Bahayanya, banyak yang menyatakan, hukum dibuat untuk dilanggar. Wajarlah sekiranya, banyak para pembuat hukum dijerat oleh hukum yang dibuatnya sendiri. Lebih bahaya lagi, ada yang ketagihan melanggar hukum.
Kita...Muslim Negarawan itu berkewajiban untuk mendobrak tradisi jahiliyah ini. Kita berhak mengatakan bahwa hukum ditegakkan untuk keadilan. Bukan keadilan untuk hukum. Dan, kita berhak untuk keadilan itu.
Hukum ditegakkan bukan karena benci atau sayang. Tapi hukum ditegakkan untuk membenci ketidakadilan, dan menyayangi yang berkeadilan. Adil tidak identik dengan harus sama. Adil tidak pula identik dengan mahal. Tapi, adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, proporsional.
Wahai...Muslim Negarawan, Allah Yang Maha Agung berpesan kepada Qta :
”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”( QS.Al baqorah : 216)
”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar –benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah...”(QS. Annisa 135)
Sobat Muda! Kita adalah para pengganti mereka-mereka yang sudah tua renta .namum, ketagihan berkuasa dengan kerakusan. Cukup, untuk sekali ini saja hukum dipermainkan seperti bola. Kalaulah teriakan kita tidak begitu berarti bagi mereka, karena kita adalah wong cilik. Janganlah khawatir. Yang terpenting adalah persiapkan diri kalian untuk merubah kondisi ini menjadi lebih baik. Kalian harus berjanji bahwa hukum ditegakkan untuk keadilan, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa. Hukum dibuat harus menjadikan masyarakat semakin dekat dengan Allah SWT, dan menyulitkan orang untuk menjauh dari Allah.
Kedelapan, membangun semangat juang dan semangat persaudaraan.
Rasulullah Saw telah mencontohkan, ketika terjadinya perang Azam. Disaat itu kaum muslimin sedang diuji dengan kekurangan makanan, jumlah personil yang amat sedikit dibandingkan dengan jumlah kafir Quraisy. Dengan izinNya, salah seorang dari sahabat mengusulkan untuk dibuat parit-parit. Rasulullah menyetujuinya. Pembuatan parit pun dilakukan. Tiba-tiba seorang sahabat mengadu ke Rasul, bahwa mereka tidak sanggup memecahkan sebuah batu besar yang menghalangi pembuatan parit tersebut. Maka, dengan segera Rasulullah mengambil palu dan melakukan sendiri hingga batu itu pecah berkeping-keping. Beliau bersabda : ”Suatu hari nanti Persia sudah di tangan kita.”( Al hadist)
Sang Prima Idola, Nabiyullah Muhammad Saw, mengajarkan kepada para sahabat dan kepada kita bahwa hidup ini harus dengan semangat juang, memilki jiwa Visioner.
Kisah kedua, seorang gadis bernama Wilmarudo, berkebangsaan Jepang. Sejak lahir ia telah lumpuh. Pada umur 9 tahun, ia belum bisa berdiri, apalagi berjalan. Tapi, si Wilmarudo ini ngotot ke mamanya. Ia selalu minta untuk diperiksa perkembangan fisiknya. Dan, ia katakan bahwa ia harus bisa berjalan dengan normal. Orang tuanya mengikuti kemauan anaknya itu. Dan, para dokter selalu mengatakan bahwa Wilmarudo tidak akan bisa berjalan seumur hidupnya.
Kesedihan meliputi hati gadis kecil itu. Namum, ia tetap berpengharaapan besar. Wajahnya menunjukkan hal demikian. Suatu hari mamanya mengatakan,”Wilmarudo, kalau anda yakin bahwa anda pasti bisa berjalan, maka Tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya.” Wilmarudo mengatakan dengan optimis,”Kalau begitu, suatu saat aku akan menjadi pelari wanita tercepat di dunia...”
Semenjak itu, ia selalu berjalan dengan duduk. Ia lakukan dengan penuh kegigihan. Kemudian belajar berdiri. Dengan memakai alat bantu ia belajar berjalan dengan tertatih-tatih. Ia melakukan hal itu sepanjang waktu.
Beberapa tahun kemudian, ia belajar berlari. Setiap kali jatuh, ia pasti bangun. Semua ini memang tidak gampang, butuh waktu yang lama. Namum, semangat mengalahkan rasa capek, bosan, dan lamanya berproses.
Suatu ketika ada lomba lari wanita di Jepang. Gadis itu pun ikut. Ia berada pada urutan terakhir. Dalam event yang sama, ia gagal terus. Banyak orang mengatakan,”Dasar tidak tahu diri, sudah gagal terus, ikut juga.”
Wilmarudo tidak berhenti. Ia terus berjuang. Pada suatu saat, Tuhan mengabulkan doanya. Pada event yang sama, ia menjadi pelari tercepat di negaranya. Selanjutnuya, ia mampu mengumpulkan tiga medali Pelari Wanita Tercepat di dunia. Subhanallah....!
Al kisah ketiga, dikutip dari cerita masyarakat Minang. Cerita ini dari mulut ke mulut. Tidak dibukukan. Namum, amat populer. Dulu, di negeri Minang seorang anak lelaki bernama Bujang. Bujang di pondokkan Orang tuanya di salah satu rumah Syekh. Bertahun sudah ia mengaji. Namum, juz ’amma pun juga belum khatam. Syekh pun kewalahan dengannya. Sudah nggak pintar, juga amat nakal.
Bujang amat kagum dengan teman-temannya yang fasih bacaan Alqur’annya. Tiap harinya, Si Bujang masih saja mengulangi Juz ’amma. Syekh pun kerap kali memintanya untuk mengulang kembali ke ”Alif Ba Ta...” Akhirnya, teman-teman seangkatannya memanggilnya dengan sapaan Ali Ba. Bujang merasa terpojokkan dengan sendirinya.
Suatu pagi Syekh memerintahkan para santri untuk kerja bakti. Bujang tidak ikut. Ia berdiam diri dalam kamar. Ia mengemas semua barang-barangnya. Kemudian, ia melarikan diri lewat pintu belakang. Perjalanan yang akan ia tempuh, amat jauh. Dengan berjalan kaki, akan menghabiskan waktu 10 jam. Jalan yang ditempuh berkerikil besar. Dan di pinggir-pinggir jalan tersebut adalah hutan lebat. Cukup berbahaya. Ketika itu masih banyak ditemukan beruang.
6 jam, ia telah berjalan. Badan terasa capek, dan terik matahari yang melemaskan. Ia mampir di pinggir jalan. Ia mencari tempat duduk yang aman. Terlihatlah olehnya ada terowongan, menyerupai gua kecil. Ia tertidur. Datanglah Syekh Burhanudin. Syekh itu berkata,”Bujang, lihatlah air yang menetes itu.(Syekh menunjuk ke air yang menetes, yang dibelakangi Bujang itu. Jaraknya dua meter dari Bujang). Syekh menghilang. Bujang terbangun. Tanpa banyak pikir, mimpi yang membekas di hatinya itu membuat ia penasaran. Ia amati air yang menetes tersebut. Sebuah tetesan air itu mampu melubangi batu hitam yang amat keras tersebut. Hingga pada batu itu terdapat kolam kecil, yang ada makluknya. Nasehat Syekh yang amat mendalam. Air yang begitu lembut, tetesannya kecil mampu melubangi batu hitam pekat yang amat keras ini...” inilah yang terbaca olehnya, ”Mungkin inilah yang dimaksud Syekh. Aku tidak boleh putus asa,” tambahnya lagi.
Ia merenung sambil memukulkan ranting-ranting kayu lapuk ke tanah. ”Mungkin 2 tahun sebelumnya adalah tahap persiapan bagiku untuk menjadi Qori terbaik di seantero negeri ini”. Bujang berbalik arah. Ia kembali lagi ke pondok ngajinya.
5 tahun kemudian, nagari kami kedatangan Qori Internasional sekaligus Buya yang amat halus dan bijak perkataannya. Buya muda tersebut baru pulang dari Mekah. Ia diundang raja Abdullah, dalam pesta syukuran raja. Dialah Qorinya. Buya muda itu bernama Abdullah Ali Mufidz.
Sobat muda!!
”Sesungguhnya setiap mukmin itu adalah bersaudara...”(QS.Al Mukminun 10)
Rasulullah Saw berpesan kepada kita. ”Umat islam itu bagaikan satu tubuh. Kalau salah satu bagiannya sakit, maka yang lain juga akan terasa sakit.(Al hadist)
Seperti apakah semangat persaudaraan kita? Apakah seperti para sahabat Nabi Saw? Hal ini harus kita evaluasi. Jangan biarkan semangat ini kendur di hati. Lihatlah para sahabat. Ketika Nabi Saw dan para sahabat hijrah pertama kali ke Madinah. Kaum Muhajirin(Pendatang) disambut Kaum Anshar( Tuan Rumah) dengan penuh cinta dan kasih sayang. Pernahkah terbayangkan oleh kita, ketika tuan rumah mengikhlaskan hartanya untuk tamunya. Pernahkah terbayangkan oleh kita, ketika tuan rumah menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahi tamunya yang duda. Pernahkah terbayangkan oleh Qta, ketika tuan rumah menawarkan putri-putri kesayangannya untuk dinikahi tamunya yang belum menikah. Seberapa istimewakah tamu mereka itu. Apakah yang menjadikan kaum anshar amat mencintai kaum Muhajirin. Ternyata yang menyatukan mereka adalah semangat persaudaraan dalam islam. Walau mereka baru kali itu mengenal wajah-wajah tamunya. Luar biasa, persaudaraan itu amat indah. Sobat muda, persaudaraan hakiki itu adalah persaudaraan yang terbina karena mencintai Allah.
Sobat muda!
Sebagai seorang Muslim Negarawan, semangat juang dan semangat persaudaraan harus dimiliki. Kita di minta untuk mewujudkannya dalam kehidupan ini. Disinilah letak rahasia membangun persatuan dan kesatuan bangsa ini, sebagaimana yang tertera dalam Pancasila sila ketiga, dan UUD’45 alinea IV.
Dengan demikan, pemuda adalah pemegang kendali negeri ini kedepannya. Kesetiaannya terhadap negeri ini adalah kebahagian buat segenap komponen bangsa. Para penyair berpesan,
”Wahai pemuda. Selagi sang surya memancarkan sinarnya di ufuk timur. Singsingkan lengan bajumu. Ambil perahumu. Dayungkan ketengah-tengah lautan. Bila....Patah pendayungmu. Dayungkan tanganmu. Robek layarmu. Buka bajumu, kau ganti layar. Pecah sampanmu. Renangi lautan. Asalkan dapat yang kalian cita-citakan. Yakni, negara yanag aman dan makmur dibawah lindungan Allah.” Siapakah mereka? Merekalah pilar kebangkitan bangsa ini. Merekalah Muslim Negarawan.
Mereka berkomitmen hebat untuk mempersembahkan dirinya dengan ikhlas di jalan Allah SWT.
Kepada segenap pemuda di bumi seantero ini. ”Dari sekarang, tunjukan kiprahmu! Tunggu apalagi...”
* * *

Ada apa dengan BUYA HAMKA

Biografi HAMKA Oleh: Wikepedia HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara.
Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Mudah-mudahan kita bisa meneladani setiap alur hidup HAMKA..... dan mengambil pelajaran yang berharga dari biografi beliau...
ayo... Generasi muda kobarkan api semangat didalam dadamu...................... :)

100 Tahun mengenang Buya HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Ham

ka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kam

pung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau,

Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan

Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah

nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.


Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar

kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam

tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah

Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris

tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka

turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garis

keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.

Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama

besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan

jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka

memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.

Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar

Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir,

pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas

Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun

Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai

Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor

Doctor Hamka”.


Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal

dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti

namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.

Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim bin

Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di

Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di

Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau,

Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama

berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayah

Nagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.

Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelar

Tuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin Thariqat

Naqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yang

diberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yang

mewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannya

sebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasul

yang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalam

pemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesra

lantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikian

hormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.

Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itu

sebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengan

dimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori Haji

Miskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan

“Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhi

kemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikan

oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembali

agama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernah

diajarkan Rasulullah S.A.W.


Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orang

ulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima

Puluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) pada

masa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada

1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakan

pembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama

lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijuluki

Harimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yang

kemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalam

sejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulama

pemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalam

berdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mula

mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.


Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekah

yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembali

dari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapai

puncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib.

Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlah

diuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranya

Haji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaan

di dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada Tuanku

Pariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaan

keluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakat

Minangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknya

di masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidup

Hamka kemudian.


Nenek moyang hamka




DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANG

TUANKU IMAM BONJOL


Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di

masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi”

(1821-1837). Dia seorang ulama dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arif

yang datang ke Minangkabau dan bergiat dalam dakwah di “Ampat Koto Agam”

yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan Guguk. Tuanku Pariaman semula

tidak tertarik melibatkan diri dalam konflik melawan Belanda yang telah

dikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan Renceh. Beliau

menghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan memilih bergiat

dalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Harimau nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak heran

kalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidak

mendapat sambutan.


Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan Alam

Minangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkan

perlawanan di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakangerakan

dakwah terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjun

ke garis depan peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalam

semangat anti penjajahan.


Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi (ulama) terjadi

setelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April 1821. Setelah itu

peperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol

yang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusat

pertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkau

dan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas.

Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga daerah yang

pertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman.


Karena kalah dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotan

membuat beberapa kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda.

Matur pun kemudian ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukan

pengepungan ketat pada Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperangan

berkecamuk. Tuanku Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahan

dengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas karena medan

yang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari Jawa yang

merupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima perang

Pangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yang

berakhir pada 1820.

Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di bawah

pimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah dan

benteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komando

Tuanku Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya,

kekuatan sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnya

ditangkap dan sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.


Mengenang 100 Tahun HAMKA


Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu menaklukkan

Cubadak Lilin, Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasil

menangkap panglima perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi.

Tertangkapnya Tuanku Nan Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Koto

menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Termasuk di antara yang

menyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan, ulama tua paling berpengaruh

yang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda karena dianggap sebagai biang

pembakar semangat perlawanan para ulama.


Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang pertama

menghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir,

sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangan

dengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan Kaum

Paderi. Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping.

Karena banyak pimpinan Paderi yang datang menyerahkan diri, Belanda

dengan mudah menaklukkan Bonjol. Dari sana, Belanda mengirim pasukan

menjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping. Kolonel Elout yang menjadi

pemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkan

tampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda mengingat

usia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk menguasai

sepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah tunduk

kepada mereka.


Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam Bonjol

menyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regen (setingkat

Bupati) Alahan Panjang (Bonjol). Di luar sepengetahuan Belanda, peralihan

kekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku Imam Bonjol. Begitu Belanda

melanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah lainnya, Bonjol pun

kembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen mati dibunuh

Tuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuangan

Kaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahun

setelah penaklukkan pertama.


Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadap

Residen di Bukit Tinggi. Ini adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belanda

saat mengundang Pangeran Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian

melucuti senjata dan menangkap Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku Imam

Bonjol tidak mendapai Residen, melainkan satu kompi tentara Belanda yang

telah bersiaga dan langsung menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang,

lalu dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon.

Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama pemimpin

Kaum Paderi yang harum namanya itu meninggal.

Sedangkan Tuanku Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudian

dibebaskan setelah terjadi perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang.

Pemimpin-pemimpin Paderi banyak yang mendapat jabatan baru dari Belanda

sebagai Regen atau Laras, jabatan adat buatan Belanda setingkat Camat di

masa sekarang. Tawaran serupa diberikan kepada Tuanku Pariaman tetapi

dijawab bahwa beliau akan kembali saja ke kampung-kampung yang pernah

dikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.

HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARA

Di antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama terkenal

asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian menjadi

penguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur.

Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama Siti

Saerah. Buah perkawinan mereka adalah Amrullah dan Bayanullah.

Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M). Sejak kecil dia dididik

secara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku Guguk Katur. Kemudian

sejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman ke Koto Tuo untuk

dididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup, pada 1864 Amrullah

kembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama yakni Fakih Kisai.

Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu menghafal Al

Qur’an mendapat gelar Fakih. Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh,

kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil dari nama salah seorang di antara

tujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang mahsyur di masa Rasulullah.

Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkan

Thariqat Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudian

bergelar ulama tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwah

matrilineal Minangkabau, Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh

untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat. Seiring namanya yang kian

harum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu agamanya, sehingga

kemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i menetap di Mekah

dan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad

Hasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya yang

lebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi

yang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-i

yaitu Abdul Karim bin Amrullah.

Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan berpengaruh

sehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar kakeknya itu

yang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau kisah-kisah itu

berasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan berlebih

karena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul Karim

Amrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. 2)

Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang yang dipandang sebagai ulama

besar akan menarik suku-suku adat untuk “menjemput” sang ulama. Artinya,

ulama tersebut diminta menikahi salah seorang anak gadis dari suku yang

menjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang beberapa kali

“dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai beberapa

istri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang, Tuanku

Kisa-i memiliki tujuh anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ke

tiga pada 10 Februari 1879 yang diberi nama Muhammad Rasul.

Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan.

Orangtuanya pun mendidik secara ketat dalam kehidupan beragama karena di

pundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i. Sejak usia

tujuh tahun, Muhammad Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasa

pada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, paman beliau yang

bernama Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan, untuk

belajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Setahun

kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu belajar menulis dalam huruf

Arab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama Tuanku Said. Tuanku

Said adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol.

Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf

dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai Rotan,

Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.

Empat tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.

Pada 1894, saat berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekah

untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurut

catatan Hamka, guru utama Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib

Minangkabauwi. Beliau juga berguru kepada Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh

Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh

Hamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham pembaharuan

Islam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin.

Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji. Sesuai

tradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah.

Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senang

memperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilah

anakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnya

Haji Rasul.

Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh besar,

Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarang

kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepada

Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalangan

ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”3)

Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal dari

dunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah Syeikh

Ahmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dari

Minangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd Shaghir

Abdullah, ulama Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara”

menyebut juga dari sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulamaulama

Melayu lain yang terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalah

Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan Syeikh

Ahmad al-Fathani yang merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4)

Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan Hidup

Manuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebut

bahwa Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar

penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirut

yang tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah,

Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani

di Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literatur

lain mengenai hal ini.”5)

Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara 1312

H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulangan

beliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Haji Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agak

berdekatan tahun kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang sama

di Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji Abu

Bakar Hasan Muar, dari Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dari

Minangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, dan banyak lagi.

Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh golongan -

menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah sekarang

Islam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan yang

luar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang beliau

ke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalan

pemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharap

puteranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapati

di dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yang

bertentangan dengan tradisi Islam di Minangkabau.

Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang saja guru Haji

Rasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini kita

menyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian juga

kitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in,

Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”.

Namun telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama Syeikh

Muhammad Nur al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam

Sambas) adalah murid-murid utama Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid

Ridha, pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanya

sangat mempengaruhi pemahaman agama Muhammad Rasul. Haji Rasul sangat

mengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai

jalan pemikirannya, melebihi pendalaman ilmu dari kitab-kitab karangan Ibnu

Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad Abdul Wahhab. Dari sana,

Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan Syeikh Muhammad

Abduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya.

Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentangan

pemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya.

Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak segan

menyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darah

dagingnya sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaan

Hamka kuat tercermin dengan tidak menggambarkan pertentangan Tuan

Kisa-i dengan Muhammad Rasul secara personal. Hamka hanya mengurai

masalah perbedaan pemahaman agama yang memang harus disampaikan

sebagai pelajaran untuk umat.

Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung disambut dengan

gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalangan

ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh Ahmad

Khatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara

tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah

(Tuan Kisa-i) sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6)

Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarang

praktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (dan

hal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang ke

Minangkabau), tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatib

yang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenal

ialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yang

menyusun kitab “Miftah al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama Syeikh

Sulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul

banyak mendapat tentangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling keras

menentang adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh Ahmad

Khatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah.

Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuah

kitab yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh

Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu dibantah dengan menulis kitab tandingan

yang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi sangat marah

membaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagi

sebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyah

yang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwa

penentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar.

Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menulis

kitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasul

rajin menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka,

karya-karya ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama,

adalah kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah

15 judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga

1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. Menurut

Hamka, “Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’

dalam zamannya.”

Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang dianggap

“ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan masyarakat

Minang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang sangat

awal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di Malaysia

buku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga bukubuku

itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan,

Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!”.

Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai puncaknya

ketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al Munir”.

Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji Abdullah

Ahmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji Rasul

mengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran beliau

yang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam tradisional

sehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik tanya

jawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari namanya

setelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah.

Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat

luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah.

Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanya

penghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada Konferensi

Khilafah di Kairo, tahun 1926.7)

Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan pemerintahan kolonial

Belanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, dia terangterangan

menolak kewajiban seikerei (hormat bendera yang dilambangkan dengan

dewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’ dalam Islam sebagai bentuk

penghormatan kepada Kaisar Jepang.

Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudian

diaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakan

pembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanya

terasa di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi,

Kalimantan, Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepada

Haji Abdul Karim, “Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH.

Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan, tokoh gerakan pembaharuan Islam di

Jawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi pelajaran bagi murid-muridnya

dalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912.

Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. Ahmad

Dahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhami

berdirinya perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh muridmurid

H.A.K.A. pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulan

murid (thawalib) di berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing.

Di “Sumatera Thawalib” yang mengadopsi model sekolah modern ala

Muhammadiyah, H.A.K.A. mengajar sebagai guru kelas VII.

Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islam yang

diterbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalam

masa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbit

perdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang dari

setahun dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit.

Sayid Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya,

Muhammad Abduh telah mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir. Rasyid

Ridha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke Mesir kemudian

menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar” pada 1898

sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937 setelah

Rasyid Ridha wafat pada tahun yang sama.

Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura bernama

Muhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher bin

Muhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan Majalah

Islam “Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah Haji

Abdul Karim bin Tuanku Kisa-i. Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudian

terbitnya “Al Munir” di Padang.

Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dan

kepiawaiannya berdakwah melalui dunia jurnalistik ini kelak menurun kepada

Hamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus tahun setelah

Hamka dilahirkan.


KELUARGA HAJI RASUL


Ketika pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad

Khatib Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun

(1894-1901). Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “putera

mahkota” Tuanku Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo.

Bersamaan dengan itu, ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo.

Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul dinikahkan dengan Raihanah

binti Haji Zakaria dari suku Tanjung. Pernikahan ini berlangsung atas

permintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan gelora anak

muda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya, siasat

ayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengan

gadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar di

hati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guru

yang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorang

puteri yang dinamai Fathimah.

Sedang hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembali

mengutus Haji Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana.

Maka Haji Rasul pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkan

Fathimah dalam asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek

Fathimah) keberatan jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah.

Di Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib

Minangkabauwi untuk kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi Syeikh

Ahmad Khatib menolak maksud Haji Rasul karena dinilainya anak murid itu

sudah cukup memiliki ilmu untuk menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasi

mengajar ilmu agama dan hanya diijinkan menemui gurunya jika menemukan

persolan yang tak mampu dijawab sendiri oleh Haji Rasul.

Demikian gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannya

sebagai pengakuan bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekad

menetap lebih lama lagi di Mekah.

Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namun

di tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi lakilaki

yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu,

Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga lima

bulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T.

Haji Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliau

pun memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau dan

melanjutkan tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelah

mengerjakan haji pada 1906 dan memakai mengganti namanya dengan Abdul

Karim, beliau pulang.

Pembesar-pembesar suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungan

dengan keluarga Amrullah meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinya

yang bernama Siti Syafiah Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiah

telah ditunangkan dengan anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko,

pertunangan itu dibatalkan keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatan

dengan keluarga Amrullah. Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah.

Sebelumnya Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun,

mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal di masa kecil. Hanya anak

bungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang. Sedangkan

pernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau memperoleh

empat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu Abdul

Kudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama Abdul

Mu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan

Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasul

memperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernama

Abdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang,

dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang).

Haji Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah.

Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu yang lama. Pada tahun

1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihak

Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap

potensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu.

Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum

proklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya,

Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.


Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan

Jejak Ayah


Abdul Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan

13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi istimewa jika dikaitkan dengan

meninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik) pada Senin, 2 Rabi’ul

Akh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9 bulan 10 hari setelah

kakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri Tuanku Kisa-i yang

berusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata kepada Abdul Malik

bahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku Kisa-i daripada

Haji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu sebagai mahluk-Nya

yang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi terasa istimewa,

sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.




Masa Kecil


Di masa kecilnya Abdul Malik yang biasa dipanggil Malik, hidup di kampung

bersama ayah bundanya. Dia merupakan anak kesayangan Haji Rasul karena

sebagai anak lelaki tertua, Malik menjadi tumpuan untuk melanjutkan

kepemimpinan umat. Tetapi metode dakwah Syeikh Abdul Karim yang

cenderung keras dan tak kenal kompromi terbawa pula dalam cara beliau

mendidik anak-anaknya. Hal itu rupanya tidak begitu berkenan di hati Malik.

Ia tumbuh menjadi anak dengan jiwa pemberontak.

Sebagaimana umumnya anak-anak di Minangkabau, dia belajar mengaji

dan tidur di surau selain belajar pencak silat. Dia juga masuk sekolah desa

sampai kelas 2 tingkat dasar. Sore harinya ia belajar agama di Sekolah Diniyah

(sekolah agama-madrasah) yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labai El-

Yunusi ulama yang sepaham dengan Haji Rasul.8)

Oleh Hamka dilukiskan pada masa itu merupakan zaman yang seindahindahnya

pada dirinya. Pagi pergi ke sekolah dengan bergegas, supaya dapat

bermain sebelum bersekolah, sampai pukul sepuluh tengah hari. Kemudian

bermain-main lagi, bercari-carian (petak umpet), main galah, bergelut, bertinju,

main banting-bantingan, seperti layaknya anak-anak lainnya bermain.

Tapi kemudian masa kecilnya yang indah itu berakhir. Malik mengikuti

ayahandanya yang mengajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan

tinggal di sana. Ia berkesempatan belajar di perguruan Thawalib yang dipimpin

oleh ayahnya selama beberapa waktu, namun tak sampai tamat. Selama belajar

di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai. Malik sangat malas belajar

dan seringkali meninggalkan sekolahnya selama beberapa hari.

Malik berpembawaan romantis. Salah satu kesukaannya ialah mengembara

mengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan Kaba, yaitu

kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan

saluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain ialah menonton

film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yang

merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton. Melalui

hobbi itulah seringkali ia mendapat inspirasi untuk menulis.

Mengenai sifat pemberontak dan kesenangannya mengembara, Hamka dalam

salah satu bukunya berjudul “Falsafah Hidup” menulis, “Tetapi entah bagaimana,

dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau.... Jiwa beliau adalah

jiwa diktator.... Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang,

menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak mau

mengaji, saya bosan mendengar kitab Fiqh yang diajarkan di Thawalib.”

Selain sifat keras Haji Rasul dalam mendidik anak-anaknya, kerenggangan

hubungan itu bisa juga dipahami oleh karena kesibukan ayahnya sebagai da’i

kelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Haji Rasul kerap meninggalkan

rumah dalam waktu lama untuk memenuhi panggilan dakwah, sehingga Malik

kecil lebih dekat kepada salah seorang pamannya.

Saat Malik berusia 12 tahun, kedua orangtuanya bercerai. Hal ini berakibat

terhadap perkembangan kejiwaannya. Malik merasa kurang mendapatkan kasih

sayang yang sewajarnya dari kedua orangtuanya. Apalagi ibunya pun kemudian

menikah lagi dengan orang lain. Perceraian itu juga mengakibatkan keretakan

hubungan keluarga besar ayah-ibunya.

Malik yang kemudian mengikuti ayahnya pindah ke Padang Panjang, harus

menghadapi cemoohan dari keluarga ayahnya sendiri. Menurut adat Minang,

seorang anak lelaki dianggap tidak pantas tinggal bersama ayahnya yang tidak

lagi beristrikan ibu kandungnya. Sebaliknya, untuk tinggal bersama ibunya pun

Malik tidak merasa nyaman, karena ada bapak tiri. Beruntung neneknya begitu

menyayangi Malik sejak bocah itu dilahirkan. Malik pun tinggal dan lebih

banyak menghabiskan masa kecil bersama Neneknya.

Kondisi Malik menimbulkan kekhawatiran yang mendalam pada ayahnya,

sebab seperti diutarakan sebelumnya, dia adalah tumpuan harapan Haji Rasul

untuk melanjutkan kepemimpinan umat. Haji Rasul pun mengirim Malik belajar

pada Syeikh Ibrahim Musa di Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi. Saat

itulah minat baca Malik mulai nampak. Ia rajin menyimak karya-karya sastra

baik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab. Kegemarannya membaca

serta mengembara sambil menikmati sekaligus mengagumi keindahan panorama

alam Minangkabau yang memiliki bukit-bukit, gunung-gunung dan danau

ditambah lingkungan keluarga yang taat beragama, telah menjadi dasar pertama

bagi pertumbuhan jiwa seorang Abdul Malik di masa mudanya.9)


Menemukan Jati Diri


Sepanjang abad ke-19, pembaharuan Islam merupakan wacana dominan

di Mekah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini meluas

sampai ke Ranah Minang, dibawa oleh banyak ulama negara-negara Melayu

yang mengkaji langsung ilmu agama di pusatnya, Mekah. Keadaan itu

mengancam posisi adat dan thareqat yang menjamur di Sumatera Barat sejak

abad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan.

Serangan pertama terhadap adat-thareqat datang bersama kepulangan tiga

ulama (Haji Miskin dan kawan-kawan) pada 1802. Penetrasi ajaran mereka

mengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledak

menyusul kepulangan ayah Abdul Malik dari Mekkah (1901 dan 1906), yang

mengibarkan bendera “Kaum Muda”, berhadapan dengan “Kaum Tua”, bahkan

ayahnya sendiri, Syekh Amrullah (Tuanku Kisa-i) yang menjadi pemimpin

thareqat Naqsabandiyah di Sumatera Barat.

Pada masa-masa seperti itulah Abdul Malik mulai menapaki dunia ilmu

pengetahuan (agama). Dia menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah.

Jejak-jejak Islam thareqat masih tersisa yang berhadap-hadapan dengan wacana

baru pembaharuan Islam. Kondisi demikian sangat mempengaruhi

perkembangan pribadi Abdul Malik karena pelaku-pelaku sentral sejarah

perkembangan Islam di Nusantara, khususnya Sumatera Barat, itu tak lain

kakek dan ayah kandungnya sendiri.

Pergesekan antara dunia kakek dan ayah mendorong Abdul Malik untuk

melampauinya. Walau hanya berbekal pendidikan formal yang minim, yakni

antara 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Sekolah

Diniyah di Parabek, kemudian dilanjutkan belajar di Sumatera Thawalib di Padang

Panjang yang didirikan murid-murid ayahnya, Abdul Malik memiliki kecerdasan

alami yang menojol. Kemampuan baca tulis (Arab, Latin, dan Jawi)-nya di atas

rata-rata. Dipicu keberjarakan dengan ayah dan etos perantauan Minangkabau,

mendorong Abdul Malik mengembara mencari jati diri.

Memasuki abad 20, di pulau Jawa mulai timbul gerakan-gerakan politik

dan keagamaan, seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Omar Said

Tjokroaminoto. Juga Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad

Dahlan di Yogyakarta, yang alirannya sejalan dengan paham pemikiran Haji

Rasul. Selain itu gerakan-gerakan nasionalis juga mulai timbul, kesemuanya

bertujuan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan

Soekarno. Bahkan aliran komunis juga muncul di Jawa dipelopori oleh Alimin,

Tan Malaka dan lain-lain. Berita-berita sekitar kebangkitan partai politik itu

telah sampai juga ke Minangkabau dan menjadi buah pembicaraan khalayak di

sana. Ini menjadi dorongan kuat bagi Abdul Malik sehingga pada 1924 ia

merantau ke Jawa dengan Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Abdul Malik menumpang di rumah pamannya Jakfar

Amrullah, seorang pedagang batik. Selama bermukim di sana, dia aktif

mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Organisasi Sarekat Islam, bahkan

masuk menjadi anggota organisasi yang kemudian menjadi partai politik itu.

Dalam beberapa hal ia belajar langsung pada H.O.S. Tjokroaminoto,

pimpinan Sarekat Islam. Abdul Malik juga mereguk pengetahuan sosiologi dari

Soerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari K.H. Mas Mansur, dan tafsir

dari Ki Bagus Hadikusumo. Di Jawa, Abdul Malik juga sempat mengembara

ke Bandung, bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yang

memberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah “Pembela Islam”.

Di luar PSI, Abdul malik aktif sebagai anggota Muhammadiyah, syarikat

keIslaman yang memiliki kesesuaian paham dengannya. Dia pun berkenalan

dan rajin mengikuti pengajian yang diberikan pemimpin-pemimpin

Muhammadiyah seperti K.H.Mochtar, K.H.Fachruddin, dan lain-lain.

Beberapa lama di Yogyakarta, Abdul Malik menemui A.R.Sutan Mansur,

suami kakak tirinya Fatimah (anak Haji Rasul dari isteri pertama) di Pekalongan.

Abdul Malik pun berguru pada A.R.Sutan Mansur yang waktu itu menjabat

sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan.

Keterlibatan Abdul Malik dalam jaringan organisasi dan penambahan

pengetahuan yang demikian luas membentuknya menjadi ulama muda berjiwa

kosmopolitan. Namun, sebagai putera Minang, Abdul Malik tetap memiliki

etos puritan dalam keluwesan pergaulan disertai kelapangan jiwa yang

mengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap toleran

dan estetik dalam usia yang masih belia.

Pada 1925, Abdul Malik kembali ke Minang. Walau masih dalam usia 17

tahun, ia telah menjadi ulama muda yang disegani. Keterpikatannya pada seni

dakwah di atas panggung yang ditemuinya pada orator-orator ulung di Jawa,

membuatnya merintis kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya. Abdul

Malik rajin mencatat dan merangkum pidato kawan-kawannya, kemudian

diterbitkan menjadi buku. Dia sendiri yang menjadi editor buku yang diberi judul

Khatib ul-Ummah”. Inilah karya perdana Abdul Malik sebagai seorang penulis.

Melihat perkembangan buah hatinya yang demikian hebat dalam hal tulis

menulis dan pidato, Haji Rasul sangat gembira. Namun menuruti adatnya

yang keras, yang tercetus justru sebuah kritik tajam, “Pidato-pidato saja adalah

percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidatopidatomu

itu”.10)

Dua tahun di kampung halaman, pada 1927 Abdul Malik pergi tanpa pamit

kepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam

pengetahuan (Islam) pada ulama-ulama di sana. Dia sengaja kabur dari rumah

sebagai jawaban atas kritik ayahnya. Dari Mekah, dia pun berkirim surat kepada

ayahnya, memberitahukan bahwa dia telah menunaikan ibadah haji.

Di Mekah, Abdul Malik sempat bekerja di perusahaan percetakanpenerbitan

milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi yang merupakan mertua

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam dan Khatib Masjidil Haram,

guru besar ayahnya.

Di tempatnya bekerja itu, “kegilaan” Abdul Malik dalam membaca kitab

terpenuhi dengan melimpahnya kitab-kitab klasik, buku-buku dan majalah–

buletin Islam dalam Bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Tujuannya bekerja, selain agar bisa menumpang hidup adalah untuk menyerap

ilmu Syeikh Ahmad Khatib yang begitu diidolakan ayahnya.

Setelah menunaikan haji (sejak saat itu menyandang nama Haji Abdul Malik

Karim Amrullah - Hamka), dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia

berjumpa H. Agus Salim. Tokoh Muhammadiyah itu menyarankan agar Hamka

segera pulang ke Tanah Air. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut

pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih

baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri,” kata Agus Salim.11)

Kata-kata pemimpin besar itu oleh Hamka dianggap sebagai suatu

“titah”. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim

di Mekah. Tetapi bukannya pulang ke Padang Panjang di mana ayahnya

tinggal, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuh kapal yang

membawanya pulang.


Produktif Menulis


Di Medan Hamka mulai mengirimkan tulisan-tulisannya untuk Surat kabar

Pembela Islam di Bandung dan berkorespondensi dengan M. Natsir, A. Hassan,

dan tokoh pembaruan Islam lainnya. Hamka juga bekerja di Harian Pelita Andalas

dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekah.

Tulisannya diminati banyak orang, di antaranya adalah Muhammad Ismail Lubis,

pemilik majalah Seruan Islam. Hamka pun diminta menuliskan karangan lainnya

di majalah tersebut. Selain itu Hamka kerap mengirimkan tulisannya ke Suara

Muhammadiyah yang dipimpin H.Fakhruddin di Yogyakarta.

Walau sangat produktif, namun penghargaan atas karya tulis pada masa itu

masih demikian kecil, tak cukup untuk menutup biaya hidup. Hamka bernasib

baik, ia diminta oleh pedagang-pedagang kecil yang umumnya para perantau

dari Sumatera Barat untuk menjadi guru agama. Dari pekerjaannya sebagai

guru ini ia mendapatkan honor yang cukup untuk membiayai hidupnya.

Pada tahun 1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa

Minangkabau “Si Sabariyah”. Di tahun yang sama ia pun memimpin majalah

Kemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Kemudian setahun

berikutnya, 1929 terbit pula buku-bukunya yang lain; “Agama dan Perempuan”,

Pembela Islam”, “Adat Minangkabau”, “Agama Islam” (buku ini disita polisi

penjajah karena dianggap berbahaya bagi pemerintah jajahan), “Kepentingan

Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj”, dan berbagai karya lainnya.

Si Sabariyah” laris di pasaran. Kenyataan ini membuat semangat Hamka

dalam berdakwah melalui tulisan menyala-nyala karena karya-karyanya

mendapat apresiasi luas. Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa dalam

melaksanakan kewajiban dakwah, Hamka memiliki kualitas tersendiri karena

menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.

Karya Hamka yang menjadi tonggak kepujanggaannya adalah “Laila

Majnun” yang diilhami sebuah cerita pendek berjudul “Majdulin” yang dibacanya

dalam sebuah majalah Arab. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit

utama pada waktu itu. Hal ini sangat membesarkan hati Hamka yang masih

berusia muda dan semakin memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan

mengarang. Dari karya-karyanya yang kemudian diterbitkan Balai Pustaka,

nama Hamka pun dalam khasanah sastra nasional tercatat sebagai salah satu

pujangga angkatan Balai Pustaka.


Rujuk, lalu Kembali Merantau


Nama besar keluarga Amrullah, serta tradisi setempat yang selalu

menyambut kepulangan seorang Haji dari Mekah untuk diserap ilmunya,

membuat keputusan Hamka tidak langsung pulang ke Padang Panjang menuai

kecaman. Orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat

memintanya pulang. Namun Hamka membangkang, bahkan ia membalas suratsurat

itu dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya Hamka kembali ke

kampung. Surat Hamka itu pun diadukan kepada Haji Rasul.

Tak kalah cerdik, ulama tua itu mengirim A.R.Sutan Mansur untuk menjemput

Hamka. Karisma dan pribadi lembut guru sekaligus kakak iparnya itu membuat

Hamka luluh. Akhirnya ia pulang ke kampung dan diterima ayahnya dengan rasa

haru yang dalam. Kata Haji Rasul, “Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitu

mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu

maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.”

Hamka berurai air mendapat sambutan sehangat itu dari seorang ayah yang

sepanjang masa mudanya terasa begitu jauh dari kehidupannya. Hapus sudah

figur seorang ayah yang keras dan dingin. Terbuka pula tabir kasih sayang yang

selama itu digunakan Haji Rasul untuk mendidik anak kesayangannya itu.

Hubungan Hamka yang oleh ayahnya kerap disebut sebagai “Si Bujang Jauh”

yang penuh warna dengan Haji Rasul, kelak melahirkan sebuah karya biografi

yang demikian kuat yang oleh Hamka diberi judul “Ayahku”. Buku ini adalah

karya apresiatif sebagai simbol cintanya pada Sang Ayah.

Hamka kembali terlibat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Pada 1928,

Hamka diangkat menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

Di sana, Hamka mendirikan sekolah-madrasah “Kulliyatul Muballighin” bersamasama

pengurus Muhammadiyah lainnya. Dia ditunjuk sebagai “Kepala Sekolah”

sekaligus pengajarnya. Pada 1929, saat berusia 21 tahun Hamka dinikahkan

dengan seorang gadis bernama Siti Raham.

Keterlibatannya dalam pengurus Muhammadiyah membuat hubungannya

dengan tokoh-tokoh organisasi semakin erat. Hamka kerap berdiskusi dan

belajar pada Agus Salim mengenai tauhid, filsafat, tasauf, dan politik. Haji

Agus Salim adalah seorang ulama yang begitu luas penguasaan bidang

pengetahuan sehingga pantas menyandang gelar pujangga, filosof, jurnalis,

orator, politikus, sekaligus pemimpin rakyat. Di mata Hamka, beliau adalah

seorang manusia yang nilainya lebih dari sejuta manusia. Sehingga menurutnya,

guru besarnya itu adalah seorang pembaharu Islam yang kedudukannya sama

   23

Mengenang 100 Tahun HAMKA

dengan Muhammad Abduh di Mesir.

Pada 1930, Konggres Muhammadiyah ke XIX dilaksanakan di Bukittinggi.

Pada saat itulah Hamka menunjukkan kepiawaiannya berorasi dalam pidato

yang berjudul “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Pidato memikat dalam

konggres nasional yang dihadiri ribuan utusan Muhammadiyah dari daerahdaerah

lain itu secara tidak resmi telah menempatkan Hamka sebagai Singa

Podium baru.

Setahun kemudian Hamka diutus ke Makassar untuk berdakwah di sana

oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Selain itu, Hamka

mengemban tugas khusus mempersiapkan Konggres Muhammadiyah ke 21

(Mei 1932) di Makassar. Di sana Hamka menetap selama tiga tahun. Selama

di Makassar, selain menjadi muballigh, Hamka tetap rajin menulis artikel

untuk dikirim ke beberapa surat kabar di Jakarta dan Medan. Hamka juga

menerbitkan jurnal pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan berjudul

al-Mahdi” yang redaksi sekaligus dan administrasinya diurus sendiri. Jurnal

itu sayangnya hanya bertahan 9 kali penerbitan. Selain “al-Mahdi” Hamka

juga menerbitkan majalah “Tentera” periode waktu dan tempat yang sama

yang terbit 4 edisi.

Di Muhammadiyah, karir Hamka terus berlanjut hingga pada Konferensi

Muhammadiyah Sumatera Barat (1946), Hamka terpilih menjadi ketua Majlis

Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, menggantikan S.Y. Sutan

Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Jabatan itu diembannya

sampai 1949.

Pada Konggres-konggres Muhammadiyah berikutnya, Hamka diangkat

sebagai anggota Pimpinan Pusat. Tetapi pada Konggres tahun 1971 yang

kembali diadakan di Makassar, Hamka tidak lagi bersedia duduk dalam

Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingat faktor usia. Sejak saat itu, beliau

ditetapkan sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terus

melekat padanya sampai akhir hayatnya.



Pujangga, Pejuang

Pada tahun 1936 tugasnya di Makassar berakhir. Hamka pun diminta oleh

teman-temannya ke Medan untuk memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”.

Saat itu, tiras majalah Islam yang terbit bulanan itu baru 500 eksemplar. Di

bawah kepemimpinannya (1936-1942) “Pedoman Masyarakat” berkembang

dengan pesat, tiras majalah mencapai 4.000 eksemplar. Jumlah terbitan yang

pada masa itu tergolong sangat besar. Di “Pedoman Masyarakat” inilah Haji

Abdul Malik Karim Amrullah pertama kali menggunakan nama pena Hamka

(akronim namanya) yang kemudian menjadi nama populernya.

Melalui majalah ini lahirlah karya-karya besar dalam lapangan agama,

filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang dimuat di Pedoman Masyarakat ada pula

yang ditulis lepas. Dalam bidang agama dan filsafat, karya Hamka antara lain

Tentang Bahagia” (yang dikemudian hari diterbitkan dengan judul; Tasauf

Moderen), “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, dan “Lembaga Budi”.

Melalui rubrik cerita bersambung di majalah yang dipimpinnya, Hamka

melahirkan karya-karya sastra jempolan. Di antaranya empat judul karya yang

ditulisnya bersamaan dalam rentang waktu tiga tahun (1937-1940), yakni “Di

Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck”, “Merantau ke

Deli”, dan “Di dalam Lembah Kehidupan”. Judul terakhir adalah sebuah kumpulan

cerita pendek. Selain keempat judul itu, Hamka juga menuliskan beberapa

karya sastra lain, di antaranya “Terusir”, “Keadilan Illahi”, dan banyak lagi.

Baik Majalah “Pedoman Masyarakat” maupun buku-buku agama dan karya

sastra Hamka kemudian tersebar dan dibaca luas di seluruh Indonesia, juga

dibaca banyak orang di Malaysia.

Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia. Pada tahun itu pula “Pedoman

Masyarakat” berhenti penerbitannya.

Seperti ayahnya, Hamka adalah sosok ulama yang konsisten (istiqomah)

dalam beragama. Namun sebagai cucu buyut Tuanku Pariaman, panglima

perang Tuanku Imam Bonjol semasa Perang Paderi, darah nasionalis juga

mengalir kental di tubuhnya. Hal itu dibuktikannya dengan terjun langsung ke

garis depan Laskar Gerilya Kemerdekaan yang menentang kembalinya penjajah

Belanda ke Indonesia di Medan pada 1945. Masa-masa konflik ini, pidatopidato

Hamka yang garang berhasil membakar semangat para pejuang laiknya

motivator perjuangan ulung Bung Tomo yang berhasil membakar api perlawanan

semesta terhadap tentara NICA di Surabaya. Pada 1947, Hamka diangkat

menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.

Pada 1950, Hamka memulai karir sebagai Pegawai Kementrian Agama.

Beliau bertugas sebagai dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, yakni di

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam

Jakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Universitas Islam

Sumatera Utara, dan bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum dan Falsafah

Muhammadiyah di Padang Panjang.

Di tahun itu juga Hamka menunaikan ibadah haji ke dua dan melanjtkan

lawatan ke beberapa negara Arab. Ibadah haji ke dua dan kenang-kenangan

atas perjalanan ini dituliskannya menjadi tiga buah buku: “Mandi Cahaya di

Tanah Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”.

Dua tahun kemudian Hamka diundang Departemen Luar Negeri Amerika

Serikat untuk berkunjung ke negara itu. Hamka melawat selama empat bulan

di Amerika Serikat. Beliau berangkat melalui Eropa dan pulangnya singgah

sebentar di Australia. Dari lawatannya ini, kembali Hamka menghasilkan buku

berjudul “4 Bulan di Amerika” sebagai buah tangan.

Pada 1958 Hamka menjadi anggota delegasi Indonesia untuk Simposium

Islam di Lahore. Dari sana Hamka melanjutkan lawatan ke Mesir. Perjalanan

kali ini merupakan penggal sejarah yang sangat penting dalam kehidupan Hamka

seperti yang akan diuraikan pada bagian berikut.

Tahun 1959 Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat”.

Majalah yang didirikannya bersama K.H. Fakih Usman itu dibreidel oleh

Soekarno pada 17 Agustus 1960 karena memuat artikel berjudul “Demokrasi

Kita” tulisan Muhammad Hatta yang mengkritik tajam konsep Demokrasi

Terpimpin Soekarno.


Al-Azhar, Pusaka Peninggalan Buya Hamka


Pada 1956, Hamka selesai membangun sebuah rumah kediaman di bilangan

Kebayoran Baru. Di depan rumah itu terdapat sebuah lapangan luas yang

disediakan pemerintah untuk membangun sebuah masjid agung. Rencana

pembangunan masjid agung itu membuat Hamka begitu gembira karena baginya

apabila sebuah masjid berada di depan rumah, maka akan mudah mendidik

anak-anak dalam kehidupan Islami.

Dua tahun kemudian, sebuah peristiwa penting terjadi dalam hidup Hamka.

Dia diundang oleh Universitas Punjab di Lahore, Pakistan, untuk menghadiri

sebuah seminar Islam. Di sanalah Hamka berkenalan dengan seorang pemikir

besar Islam Dr. Muhammad al-Bahay.

Usai mengikuti seminar, Hamka melanjutakan lawatan ke Mesir atas

undangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat,

salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi Mesir” di samping Presiden

Jamal Abdel Nasser. Kedudukan Hamka sebagai anggota Pimpinan

Muhammadiyah, rupanya telah membuat beliau begitu dikenal oleh masyarakat

Mesir, terutama di kalangan akademisi Universitas Al-Azhar. Namanya juga

harum di lingkungan “As-Syubbanul Muslimun”, organisasi Islam yang berhaluan

sama dengan Muhammadiyah. Hal ini tak terlepas dari peran Duta Besar Mesir

di Indonesia pada waktu itu, Sayyid Ali Fahmi al-Amrousi dan Atase

Kebudayaan Indonesia di Mesir, Raden Hidayat, yang memperkenalkan Hamka

kepada masyarakat Mesir. Lawatan Hamka ke Mesir kebetulan bertepatan

dengan kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke sana sehingga Saiyid Ali

Fahmi al-Amrousi pun tengah berada di negerinya.

Maka, terjadilah kesepakatan antara Mu’tamar Islamy dan “As-Syubbanul

Muslimun” dengan Universitas Al-Azhar untuk mengundang Hamka

mengadakan suatu muhadharah (ceramah) di gedung As-Syubbanul Muslimun guna

memperkenalkan lebih jauh pandangan hidup Hamka kepada masyarakat

akademisi dan pergerakan di Mesir. Buya menyambut hangat undangan tersebut

dan menyiapkan sebuah makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduh

di Indonesia dan Malaya”.

Ceramah Hamka beroleh sambutan luar biasa. Dari sebuah acara yang

semula direncanakan sederhana saja, ceramah itu telah berubah menjadi sebuah

studium generale (kuliah umum) yang dihadiri sarjana-sarjana dan ulama kenamaan

Mesir. Di antara yang hadir, tercatat nama-nama seperti Prof. Dr. Osman Amin,

Dr. Muhammad Al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Ketua Umum As-Syubbanul

Muslimun, dan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar (kala itu) Syeikh Mahmoud

Syaltout. Mereka memberikan apresiasi begitu tinggi kepada orang Indonesia

yang ternyata lebih mendalami dan memahami pemikiran Muhammad Abduh

daripada kebanyakan orang Mesir sendiri.

Usai kuliah umum yang menghebohkan itu, Hamka melanjutkan lawatan

ke Saudi Arabia memenuhi undangan Raja Saud. Kesempatan itu digunakan

Hamka untuk berziarah ke makam Rasulullah di Madinah dalam kapasitas

sebagai tamu negara.

Beberapa hari di Madinah, Raja Saud mengundang Buya sebagai tamu pribadi

Raja Arab Saudi itu. Sedang menjadi tamu raja, tiba-tiba datang pula kawat

dari Mesir yang disampaikan oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi al-

Amrousi yang berisi rencana Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar

ilmiah tertinggi kepada Buya Hamka, yakni gelar Ustadzyyah Fakhriyah (Doctor

Honoris Causa).

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah itu merupakan penghargaan kehormatan

akademis pertama yang diberikan Universitas Al-Azhar kepada orang yang

dianggap patut menerimanya. Penghargaan itu terwujud atas usulan Kepada

Departemen Kebudayaan Al-Azhar, Dr. Muhammad Al Bahay. Namun upacara

pemberian gelar kehormatan itu tidak bisa segera dilaksanakan meskipun

Hamka telah kembali ke Mesir dari kunjungannya ke Saudi Arabia disebabkan

panitia perlu menyusun protokol pelantikan yang sebelumnya belum pernah

dilakukan. Bahkan rencananya, pemberian gelar Doctor Honoris Causa itu

akan disahkan oleh Jamal Abdel Nasser, Presiden Mesir waktu itu. Al-Bahay

meminta Buya Hamka agar bersabar tinggal lebih lama di Mesir karena segala

persiapan pelantikan itu butuh waktu satu hingga dua minggu.

Minggu-minggu akhir bulan Februari 1958 itu, suhu politik di Mesir

menghangat dengan penggabungan Republik Mesir dengan Republik Suriah.

Suasana gegap gempita dan kesibukan luar biasa mewarnai hari-hari yang dipenuhi

demonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Kesibukan itu melanda juga ke dalam

Universitas Al-Azhar sehingga rencana penganugerahan gelar Ustadzyyah Fakhriyah

kepada Hamka terhambat. Pada akhirnya, disampaikan kepada Hamka untuk

menunggu hingga akhir bulan Ramadhan 1378 H (awal bulan April 1958).

Walau tak mudah bagi seorang Hamka untuk melakukan perjalanan ke luar

negeri, tetapi pada waktu itu beliau memutuskan untuk kembali lebih dahulu ke

Tanah Air karena krisis politik tengah terjadi di dalam negeri. Hamka mendapat

kabar kalau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telah

melakukan pemberontakan di Sumatera. Dan pada penghujung bulan Febriari

1958 itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah membom Painan yang terletak

di pesisir selatan Sumatera Barat. Mendapati Minangkabau, bumi kelahirannya

   28

dalam bahaya besar, Hamka yang memiliki jiwa pejuang memutuskan pulang

dan menunda urusan penganugerahan gelar kehormatan itu.

Sekembali ke Tanah Air, Hamka mendapati pembangunan Masjid Agung

di depan rumah tinggalnya telah selesai tetapi belum boleh digunakan untuk

beribadah. Menurut Syamsurrijal, Walikota Jakarta Raya pada waktu itu yang

menjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Agung Kebayoran, masjid baru

bisa digunakan beribadah setelah diresmikan oleh Presiden Soekarno. Hamka

gusar. Beliau mendesak Syamsurrijal agar diperbolehkan menggunakan Masjid

Agung sambil menunggu kesediaan Presiden Soekarno meresmikannya.

Menurutnya, ruh masjid barulah menyala apabila dipakai guna beribadah.

Apalagi pada waktu itu telah datang bulan Ramadhan.

Demikianlah Hamka mulai melaksanakan shalat di Masjid Agung

Kebayoran Baru. Berangsur jamaah mulai ramai setelah pada awalnya hanya

diikuti 5 sampai 6 orang saja. Hamka pun secara tidak resmi telah diangkat

menjadi Imam Masjid Agung Kebayoran Baru. Selain memimpin shalat lima

waktu, setiap usai shalat Shubuh, Beliau mulai memberikan penjelasan

mengenai ayat-ayat Al Qur’an selama 45 menit kepada jamaah. Inilah cikal

bakal tersusunnya magnum opus Buya Hamka yang kelak dikenali sebagai kitab

Tafsir Al-Azhar.

Barangkali sejauh ini khalayak menilai kitab tafsir itulah puncak karya ulama

multi dimensi itu. Tetapi dalam pengantar yang dituliskan sendiri oleh Hamka

mengenai alasan di balik pemberian judul “Al-Azhar” pada kitab tafsirnya,

jelas tersirat bahwa terdapat suatu gagasan besar yang layak disebut sebagai

ruh perjuangan Buya Hamka dalam perjuangan Islam yang tidak akan pernah

berhenti sampai pada tersusunnya sebuah kitab tafsir lengkap belaka. Ruh

perjuangan itu tak lain sebuah institusi pergerakan Islam yang berpusat di Masjid

Agung Kebayoran yang kelak sama kita kenal sebagai Masjid Agung Al-Azhar.

Untuk lebih jelasnya, baik kita simak fragmen penting dalam kehidupan beliau

berikutnya.

Maret 1959 datang undangan dari Duta Besar Mesir yang baru, ialah Sayyid

Ali Fahmi kepada Hamka. Rupanya pemberian gelar Doctor Honoris Causa

oleh Universitas Al-Azhar kepada Hamka telah dilakukan dan bel (tabung

ijazah) berwarna biru pun disampaikan kepada Hamka dalam sebuah upacara

yang penuh khidmad di kantor Kedutaan Besar Mesir. Pada ijazah itu

tercantum keterangan “Raqam I”, artinya penghargaan gelar akademis itu

merupakan penghargaan pertama sejak Al-Azhar menetapkan peraturan

mengenainya. Hamka adalah orang pertama yang mendapat gelar H.C. dari

Universitas Al-Azhar, Kairo.

Inilah momentum penting dalam sejarah perjuangan Hamka. Dalam

pengantar Tafsir Al-Azhar, mengenai hal itu Hamka menulis, “Ijazah yang amat

penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh keharuan. Sebab

dia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syeikh Jami’

Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilang

selama dalam pimpinan beliau. Itulah Syeikh Mahmoud Syaltout, (beluai meninggal

pada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung

asy-Syubbanul Muslimun” itu.”12)

Hamka menulis surat kepada Mahdoud Syaltout berisi pernyataan

terimakasih kepada Al-Azhar dan semua orang yang telah membantunya

memperoleh penghargaan itu. Surat itu dibalas oleh Syaikh Jami’ Al-Azhar

dengan menambahkan pujian, “Sesungguhnya tatkala Al-Azhar memutuskan hendak

memberikan penghargaan itu, ialah karena dia telah mengetahui betapa perjuangan tuan

selama ini dalam usaha menegakkan kesatuan kaum Muslimin di Asia Timur, dan

sebagaimana pula tuan telah memancangkan tonggak-tonggak untuk kekokohan Islam.

Maka Al-Azhar sangatlah merasa berbahagia karena telah meletakkan kepercayaan

itu ke atas diri tuan dan dianggapnyalah tuan sebagai puteranya yang setia kepadanya

dan kepada pokok-pokok pendirian Islam, yang Al-Azhar telah berjuang selama ini

untuk mengibarkan benderanya.”13)

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah beserta surat Mahmoud Syaltout itu begitu

memotivasi Hamka untuk melanjutkan syiar Islam yang berpusat di Masjid

Agung Kebayoran Baru. Hamka semakin sering menyampaikan pelajaran tafsir

usai shalat Shubuh. Disebabkan oleh bermacam kegiatan pengajian dan

khutbah-khutbah Jum’at Hamka yang memukau, Masjid Agung Kebayoran

Baru pun mulai dipadati jama’ah.

Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. Muhammad

Al-Bahay (sosok yang diyakini Hamka berada di balik sukses Mahmoud Syaltout

memajukan Al-Azhar) berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah

satu agenda kunjungan adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru.

Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, Mahmoud

Syaltout dalam sambutannya antara lain menyatakan, “Bahwa mulai hari ini,

saya sebagai Syeikh (Rektor) dari Jami’ Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama

Al-Azhar”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-

Azhar di Kairo.” Sejak saat itu, semua orang sepakat melekatkan nama Masjid

Agung Al- Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran Baru.

Diluar segala macam kesibukannya yang luar biasa, Hamka terus

melanjutkan memberikan pelajaran tafsir di Masjid Agung Al -Azhar. Januari

1962, Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya,

menerbitkan sebuah majalah bernama “Gema Islam” di mana Hamka menjadi

pemimpin redaksinya. Segala kegiatan Masjid Agung, terutama pelajaran tafsir

oleh Hamka dimuat secara berkala di dalam majalah itu. Luasnya peredaran

“Gema Islam” membuat kegiatan menyampaikan tafsir ba’da shalat Shubuh

diikuti oleh takmir-takmir masjid lain di Indonesia. Rangkaian pelajaran tafsir

ba’da shubuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberi judul

Tafsir Al-Azhar, merujuk kepada tempat di mana tafsir itu diberikan sekaligus

penghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir). Tulis Hamka, “Atas usul

dari tata usaha majalah di waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran

Tafsir” waktu Shubuh itu dimuatlah di dalam majalah Gema Islam tersebut. Langsung

saya berikan nama baginya Tafsir Al-Azhar, sebab “Tafsir” ini timbul di dalam Masjid

Agung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syeikh Jami’ Al-Azhar sendiri.

Merangkaplah dia sebagai alamat terimakasih saya atas penghargaan yang diberikan

oleh Al-Azhar kepada diri saya.”14)

Terbetik dalam benak Hamka ketika mulai menyusun Tafsir Al-Azhar untuk

menjadikannya sebagai peninggalan pusaka bagi bangsa dan ummat muslimin

Indonesia sepeninggalnya kelak dari alam fana ini. Terlebih lagi, begitu besar

dorongan di hatinya untuk mempersembahkan Tafsir Al-Azhar sebagai “balasan”

atas penghargaan yang telah diterimanya dari Universitas Al-Azhar, Kairo.

Penghargaan, yang menurut Hamka, disebabkan oleh rasa cinta orang Mesir

kepada seorang ulamanya (Muhammad Abduh) yang dipandang sebagai pelopor

pembaharuan Islam di Mesir. Oleh karenanya, penghargaan tertinggi pantas

diberikan kepada orang yang memuliakan dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran

Muhammad Abduh, yaitu kepada Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Jika disimak sedemikian dalam rasa syukur Hamka atas gelar Ustadzyyah

Fakhriyah yang diterimanya dari Universitas Al-Azhar tidak aenh kalau kerja

kerasnya menyusun Tafsir pun didedikasikan kepada Universitas Al-Azhar.

Dan jika diingat kembali pesan Syaikh Mahmoud Syaltout agar Masjid Agung

Kebayoran Baru kelak menjadi pusat gerakan pembaharuan Islam seperti halnya

Al-Azhar di Mesir, maka ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka

dari Masjid Agung Al-Azhar merupakan pusaka peninggalan Hamka yang

nilainya sama besar dengan kitab Tafsir Al-Azhar itu sendiri.

Tafsir Al-Azhar, yang diakui sebagai karya terbesar Hamka telah selesai

disusun melalui berbagai rintangan yang tidak mudah sebagaimana akan diuraikan

selanjutnya. Tetapi ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka belum

dan tidak akan pernah selesai. Menjadi kewajiban generasi selanjutnyalah untuk

tidak sekadar mewarisi kebesaran Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tetapi

melanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan Islam di bumi Indonesia dan

menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat pergerakannya.


Tafsir Al-Azhar, Hikmah di Balik Fitnah


Sejak menjadi Imam Masjid, Buya Hamka memulai memberikan pelajaran

tafsir Al Qur’an tiap selesai memimpin shalat subuh. Surat yang pertama kali

dikaji adalah surat Al-Kahfi, juzu XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya, yang

dimulai sejak akhir 1958, kemudian dimuat secara berkala di Majalah Gema

Islam terbitan Perpustakaan Al Azhar mulai Januari 1962 hingga Januari 1964.

Mulai saat itu terbetik di hati Hamka untuk menyusun tafsir dalam kitabkitab

yang kemudian diberi judul Tafsir Al Azhar. Pemberian judul kitab

tafsirnya itu tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Agung Al Azhar seperti

diuraikan sebelumnya. Tetapi, meski telah berjalan selama enam tahun, belum

juga seluruh ayat-ayat Al Qur’an selesai ditafsirkan.

27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang oleh Hamka dikiaskan

dengan kalimat, “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisa

menahannya.”15) Siang itu, usai memberikan pengajian mingguan di Masjid

Agung, Buya “dijemput” empat orang polisi berpakaian preman, lengkap

dengan Surat Perintah Penahanan Sementara. Di dalamnya disebutkan bahwa

Hamka diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963. Tanpa

keterangan lebih jelas, Hamka digelandang ke Departemen Angkatan

Kepolisian (DEPAK), ditahan selama 2 jam, kemudian dibawa ke Cimacan,

Puncak, Bogor. Empat hari Hamka ditahan di sebuah bungalow Polisi di

Cimacan. Pada 31 Januari 1964, beliau dipindahan ke Sekolah Kepolisian

Sukabumi setelah sebelumnya sempat mampir di sebuah bu-ngalow lain di

Puncak di mana beliau bersua tokoh Masyumi H. Kasman Singodimedjo

yang telah dua bulan ditahan rejim Soekarno.

Di tahanan Sukabumi Hamka diinterogasi secara maraton dengan

bermacam cara, baik dengan bujukan lembut maupun dengan paksaan,

sindiran, ejekan, hingga hinaan agar mengakui tuduhan yang dialamatkan

kepadanya. Masa-masa yang tak pernah terbayangkan bakal menimpa seorang

ulama yang “lurus-lurus saja” itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tapi

walau berat ujian yang harus ditanggung, Hamka tak putus menjalani ibadah

wajib puasa Ramadhan!

Tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah melakukan rapat-rapat gelap,

menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno dan

Pemerintah Republik Indonesia yang sah.16) Salah satu biang tuduhan adalah

kuliahnya pada Oktober 1963 di Institut Agama Islam Negeri (sekarang

Universitas Islam Negeri) Ciputat yang dianggap menghasut mahasiswa untuk

melanjutkan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureuh, M. Natsir dan

Syafruddin Prawiranegara. Rupanya, di antara segelintir saja mahasiswa yang

mengikuti kuliah Ilmu Tasauf yang disampaikan Hamka, terdapat intel rejim

Soekarno.17)

Berbagai tuduhan lain, di antaranya menjalin kontak dengan kaki tangan

Tengku Abdul Rahman dalam lawatan beliau ke Pontianak pada September

1963, mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 untuk

merencanakan pembunuhan terhadap Menteri Agama waktu itu H. Saifuddin

Zuhri dan melakukan kudeta, dan sebagainya. Intinya, aktivitas dakwah Buya

Hamka di tengah masyarakat dianggap sebagai gerakan kontra revolusi yang

ketentuan hukum bagi pelakunya ditetapkan melalui surat Penetapan

Presiden.

Dari Sukabumi, Hamka kembali dipindah ke Cimacan bersama seorang

tahanan lain bernama Ghazali Sahlan (dituduh sebagai komplotan makar Hamka

dan kawan-kawan) pada 8 April 1964. Tiga bulan Buya Hamka ditahan di sana,

lalu atas permintaan beliau karena cuaca Puncak yang dingin mengganggu

kesehatannya, Hamka dipindahkan ke Megamendung pada 15 Juni. Hamka baru

dibebaskan setelah terjadi peristiwa pemberontakan PKI, 30 September 1965.

Keseluruhan, Hamka ditahan selama dua tahun empat bulan, hanya karena

perbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenai

Pancasila sebagai dasar/falsafah negara. Mengenai peristiwa kelam ini, Hamka

menulis, “Melihat tanggal mulai Pen.Pres. itu diundangkan, beratlah persangkaan

saya bahwa Pen.Pres. ini yang terutama ditujukan ialah kepada diri saya sendiri. Sebab

saya dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 14 Oktober 1963, sedang

Pen.Pres. itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.” 18)

Fitnah keji disusul dengan penahanan tanpa peradilan itu tak pelak adalah

puncak ketegangan hubungan antara Buya Hampa dengan Presiden Soekarno.

Padahal, sesuai sifat Buya Hamka yang romantis, secara pribadi Presiden

Soekarno adalah sosok yang dikaguminya dan pernah pula disanjung

sedemikian tingginya oleh Hamka. Petikan kisah kunjungan Presiden

Soekarno ke Sumatera (Barat) pada Juni 1948 ketika seluruh rakyat Sumatera

mengangkat senjata menentang kembalinya penjajah Belanda di mana Hamka

terjun ke garis depan, sangat pas melukiskan romantika hubungan pribadi

Hamka-Soekarno.19)

Dalam ziarah Presiden ke Sumatera itulah Hamka yang telah lama mengenal

dan saling mengagumi dengan Soekarno memiliki kesempatan bertatap muka

langsung tatkala Presiden RI itu menginspeksi pasukan TNI dan Laskar

Kemerdekaan Sumatera.

Usai inspeksi, dilangsungkan acara ramah tamah, dilanjutkan pemberian

tanda mata oleh tokoh-tokoh Sumatera kepada Soekarno. Beragam cendera

mata, mulai keris, selendang, tongkat bergagang emas, dan sebagainya, telah

bertumpuk di meja sebagai hadiah kepada Soekarno. Bahkan Gubernur

Sumatera waktu itu, Mr. Teuku Mohd. Daud atas nama Propinsi Sumatera

menghadiahkan sebuah kapal terbang. Setelah itu acara hendak ditutup, namun

Hamka menghampiri MC dan menyatakan akan memberikan hadiah pula.

Mutahar, sang MC, buru-buru berseru, “Paduka yang mulia, penutup dari

pertemuan ini adalah Pujangga Hamka hendak memberikan hadiahnya!”

Maka tampillah Hamka ke depan berhadapan dengan Soekarno. Beliau lalu

berkata dengan lantang, “Paduka yang mulia, saya pun akan memberikan hadiah,

tetapi bukan barang, bukan tongkat emas, bukan kapal terbang! Itu semuanya tak ada

padaku. Tapi aku akan memberikan hadiah yang lebih mahal dari itu semua. Dan

semua orang tak sanggup memberikannya. Hanya aku yang sanggup. Yang akan

kuhadiahkan adalah rangkuman kata-kata!”

Hamka melanjutkan bahwa rangkuman kata-kata itu adalah ungkapan

perasaan TNI dan Barisan-barisan Laskar Kemerdekaan kepada Presidennya

yang tak sanggup mereka ungkapkan. Dan hanya Hamka lah yang sanggup

mewakili mereka semua untuk mengungkapkannya, maka Hamka pun

membacakan puisi tanpa teks berikut:

Sansai Jua Aku Sudahnya

Sahabatku Amat

Adakah engkau masih teringat

Tatkala kita berdiri rapat

Berbaris-baris memberi hormat,

Kupegang teguh gagang bedilku

Pandang tenang hadap ke muka

Tidak bergerik tidak bergerak

Tidak melengong ke kiri kanan

Laksana patung tegak di taman

Kecil rasanya bumi Allah

Entah di mana aku berdiri

Entah di langit entah di bumi

Kuingat diri

Kurangkah lagi

Beliau pun lalu di depan kita

Memeriksa barisan kita

Hening bening, renap gema

Tenang tegap ia melangkah

Terdengar rumput terpijak

Aku pun tak tahu lagi

Apa yang akan terjadi

Tiba-tiba tak kusangka

Ditentang aku beliau tegak

Matanya tenang jernih dalam

Dilindung alis hitam lebat

Menembus jantung menimbul cinta

Dipegangnya daguku

Diperbaikinya hadapku

   35

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dilekatkannya kancing bajuku

Dan beliaupun pergi

Terdengar rumput terpijak

....................................

Amat, Oh Amat!

Hilang segala kepayahan

Hilang segala kepenatan

Lupa segala penderitaan

Amat-Amat!

Kalau begini naga-naganya

Hanyut juga aku sudahnya

Sansai juga aku sudahnya

Matanya. lidahnya, telunjuknya

Mengerahkan daku menentang tofan

Memandang murah harga maut

Oh, Amat!

Jika kutewas sekali ini

Di medan perang di garis depan

Hanya sebuah pesan harapku

Kuburkan aku dengan bajuku

Bekas dijamah tangan beliau.

Puisi itu telah mengungkap seberapa besar kekaguman dan kemesraan

hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Namun perbedaan pandangan

politik, juga perbedaan tajam kedua pribadi besar itu dalam pemahaman agama

Islam di kemudian hari, telah membawa Hamka tertimpa fitnah besar dalam

sejarah hidupnya. Fitnah yang di baliknya ternyata tersemayam sebuah hikmah!

Selama dua tahun lebih dalam tahanan, Hamka yang terkucil dari dunia

ramai justru merasakan kedekatan yang demikian intim dengan Sang Khalik.

Seluruh waktunya tercurah untuk menjalankan ibadah, mendekatkan diri

kepada Sumber dari Segala Sumber Kehidupan. Dalam suasana yang demikian

transendental, Buya Hamka melanjutkan penafsiran Al Qur’an hingga berhasil

menyusunnya menjadi sebuah kitab lengkap 30 Juz Tafsir Al-Azhar.

Dengan rendah hati Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atas

dirinya, rasa-rasanya sulit bagi beliau menyelesaikan pekerjaan besar itu

mengingat faktor usia dan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah.

Salah seorang putera beliau pernah mengusulkan agar pada pengantar kitab

tafsirnya, Hamka menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah

menjatuhkan fitnah kepadanya. Sebab, lantaran fitnah itu beliau ditahan, dan

karena penahanan itu Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Hamka

menolak. Beliau menegaskan untuk tetap berpegang pada pendirian tauhid;

hanya mengucap syukur dan puji-pujian bagi Allah semata.

Rasa syukur yang demikian besar telah menghapus segala sakit hati. Sejarah

mencatat, ketika Soekarno wafat, Buya Hamkalah yang memimpin shalat jenazah

Presiden pertama RI, kawan sekaligus lawan dalam kehidupannya itu.


Masukkan Daftarmu Konsistensi Ulama yang Mampu Melahirkan Umat


Hamka dikenal sebagai ulama yang memegang teguh prinsip beragama.

Sikap istiqamah sebagai mahluk Allah ini menempati kedudukan tertinggi di

jiwanya, melebihi segala kedudukan di dunia. Hal ini tercermin dalam karir

politik dan kepegawaian beliau.

Sarekat Islam, organisasi yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam (PSI)

di mana Hamka menjadi salah satu anggotanya, sejak 1925 berafiliasi dengan

organisasi Islam lainnya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)

pada 1950. Karier politiknya berpuncak ketika bergabung menjadi Juru

Kampanye Masyumi. Melalui pemilu 1955 yang dinilai sebagai pemilu paling

demokratis sepanjang sejarah Republik Indonesia, Hamka terpilih menjadi salah

seorang anggota konstituante dari Masyumi.

Sebagai anggota konstitante, pada sidang di Bandung (1957) Hamka

menyampaikan pidato menolak gagasan Presiden Soekarno yang ingin

menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Dewan Konstituante kemudian

dibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian juga

membubarkan Masyumi dan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960.

Sebelum Masyumi dibubarkan, Hamka yang sejak 1950 berstatus sebagai

pegawai negeri di Kementrian Agama, terlebih dahulu berhadapan dengan rejim

Soekarno yang melarang pegawai negeri gologan “F” merangkap sebagai

anggota partai. Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri

(yang pada waktu itu gajinya merupakan tulang punggung keluarga) dan

melanjutkan karir politiknya di Masyumi. Sebelum mengundurkan diri, Hamka

bertanya kepada istrinya, pilihan mana yang hendak diambil: tetap menjadi

PNS dan menikmati pendapatan yang pasti atau melanjutkan perjuangan untuk

umat melalui parpol. Dengan ketabahan seorang istri pejuang, pendamping

hidupnya menjawab tegas, “Jadi Hamka sajalah!”

Perseteruannya dengan Presiden Soekarno terus berlanjut. Pada 17

Agustus 1960, majalah “Panji Masyarakat” yang diterbitkannya sebagai corong

dakwah Islam dibreidel. Puncaknya pada 1964 Hamka ditangkap dengan

tuduhan melanggar Penetapan Presiden Anti Subversi seperti diuraikan pada

bagian sebelumnya.

Tahun 1966 rejim Soekarno tumbang, digantikan rejim Orde Baru di bawah

Presiden Soeharto. Hamka bebas dan kembali menerbitkan “Panji Masyarakat”

pada 1967. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan

Musyawarah Kebajikan Nasional, Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia,

dan Anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Karismanya sebagai ulama mengantarnya terpilih sebagai Ketua Majlis

Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada 1981, jabatan itu diletakkannya

setelah fatwa larangan mengahadiri Natal Bersama bagi umat Islam ditentang

rejim Soeharto. Soeharto mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara, Menteri

Agama, agar Hamka mencabut fatwa tersebut. Tetapi kepada Alamsyah,

Hamka menegaskan kembali prinsipnya yang menempatkan kebenaran agama

di atas segala kepentingan dunia dan memilih meletakkan jabatan demi

mempertahankan keyakinan bahwa fatwa yang dikeluarkannya adalah haq.

Sejak saat itu Hamka lebih banyak mengabdikan hidupnya untuk

membangun umat yang berpusat di Masjid Agung Al-Azhar. Melalui Al-Azhar,

Hamka yang acap disebut dengan panggilan Buya (Abuya=ayah) Hamka

berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas Islam moderen. Oleh

H. Syuhada Bachri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hamka disebut

sebagai ulama yang mampu melahirkan ummat dengan empat karakteristik

utama: memiliki iman yang bisa melahirkan keikhlasan, memiliki ilmu yang

bisa melahirkan amal, memili akhlak yang bisa melahirkan keteladanan, dan

memiliki wawasan kekinian yang bisa melahirkan semangat dakwah. Empat

karakteristik itulah yang melekat pada sosok Buya Hamka sebagai ulama.

Karakteristik Buya Hamka itu terekam dengan sangat jelas pada puisi yang

dituliskannya secara khusus untuk Muhammad Natsir. Puisi ini ditulis Buya

Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir

yang mengurai kelemahan sistem kehidupan buatan manusia dan dengan tegas

menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar

negara RI.


Kepada Saudaraku M. Natsir


Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu .......!

H. Hussein Umar, Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang

telah mangkat pada 19 April 2007, adalah salah seorang pengagum Buya Hamka

dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Prof. Kasman Singodimedjo.

Sebagaimana Hamka dan Kasman Singodimedjo, Hussein Umar juga seorang

orator ulung yang tak hanya cakap berpidato di atas panggung, namun seluruh

waktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan untuk dakwah.

Dua jam sebelum dibawa ke rumah sakit sehari sebelum beliau dipanggil

pulang ke haribaan Allah, Hussein Umar bercerita tentang tokoh-tokoh yang

dikaguminya itu kepada Adian Husaini, aktifis muda Dewan Dakwah. Adian

mencatat, salah satu hal yang ditekankan Hussein Umar adalah puisi Hamka

yang ditulis untuk M. Natsir di atas. Berikut catatan Adian Husaini yang

dipublikasikannya melalui situs www.hidayatullah.com.

Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,”Sudah baca puisi Hamka

yang ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante?”

Saya jawab, “Belum!”

Ia lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah buku berjudul

“Islam Sebagai Dasar Negara”, karya Moh. Natsir, terbitan Dewan Dakwah

Islamiyah Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai orang yang

rajin dan telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting.

“Ini bacalah!,” ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang tertera dalam

bagian depan buku “Islam sebagai Dasar Negara”.

Saya pun terpana membaca puisi tersebut, kata demi kata, baris demi baris.

Inilah puisi gubahan Hamka yang diberi judul “Kepada Saudaraku M. Natsir”.

Puisi ini ditulis Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957,

setelah mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante.

Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang bergetar, Bang

Hussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka: Dan aku pun

masukkan, dalam Daftarmu!


Ulama istimewa itu kembali menemui Sang Khaliq sewaktu berusia 73

tahun lima bulan, bertepatan dengan tanggal 24 Juli 1981 pukul 10.41.08 w.i.b.

Beliau wafat dengan tenang disksikan oleh segenap keluarga, sahabat, dan

kawan-kawan seperjuangan. wallahualam bisshowab(dari ebook 100 Tahun Buya Hamka)