Sabtu, 28 Februari 2009

Renovasilah Idealisme, Wahai Mahasiswa!

oleh Ali Margosim Chaniago

Idealisme merupakan komitmen yang mengakar kuat dalam diri yang terwujud dalam berbagai sikap dan tindakan. Idealisme seolah-olah menjadi harga diri bagi mahasiswa, dari dulunya hingga sekarang.
Idealisme mahasiswa dulu
Idealisme mereka terlihat pada berbagai pergerakan yang mereka lakukan. Dengan pergerakan yang terencana, tersusun rapi, dan dengan kesungguhan.
Pada zaman penjajahan Belanda, lahirlah gerakan Budi Utomo tahun 1908, dilanjutkan tercetusnya Sumpah Pemuda 28 oktober 1928. Kemudian, pergerakan mahasiswa angkatan ’66 yang meneriakkan Tritura(Tiga Tuntunan Rakyat), sekaligus penggulingan kekuasaan Soekarno, yang pada saat itu sudah ingin berkuasa seumur hidup. Angkatan ’74 yang menorehkan tinta sejarah MALARI (Malapetakan Lima Belas Januari) dengan tuntutan otonomisasi Negara dari intervensi asing dan penyikapan isu NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). Gerakan mahasiswa Indonesia angkatan ’78 pun memberikan sumbangan sejarah dengan mengangkat isu realisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan icon menolak Soeharto sebagai calon presiden. Dan akhirnya, angkatan ’98 mampu menghancurkan kekuasaan bercorak militer dan represif rezim orde baru dibawah naungan rindangnya pohon beringin selama 32 tahun, Soeharto. Gerakan mahasiswa pun berlanjut ke tahun 2001 dengan pencabutan predikat presiden dari Gusdur, gitu aja kok repot! (dhedhi.wordpress.com/2007/10/30)
Para mahasiswa pada dekade ini kiranya layak berpredikat negarawan. Pergerakan mereka semata-mata untuk negara. Sesuai dengan fitrah idealisme mereka, yakni merindukan negara yang aman, damai, makmur, dan berwibawa.
Idealisme mahasiswa sekarang
Idealisme mahasiswa sekarang telah diwarnai oleh kemilau kepentingan semu. Idealisme mereka terpecah menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang terus mengusung pergerakan. Pada kenyataannya, mereka yang seperti itu juga terpecah lagi menjadi dua golongan, yaitu dirinya untuk pergerakan, dan pergerakan untuk dirinya.
Mereka yang menobatkan dirinya untuk pergerakan. Merekalah orang yang jujur, tidak munafik, memegang prinsip, dan istiqomah. Benar tetap benar, dan salah tetap salah. Merekalah mahasiswa yang dirindukan kehadirannya oleh negara ini, guna memperbaiki keterpurukan bangsa ini. Merekalah mahasiswa yang menegarawan.
Lalu, bagaimana pula dengan pergerakan untuk dirinya. Inilah yang membuat kita patut bersedih. Hal ini bisa dilihat pada beberapa Petinggi BEM(Badan Eksekutif Mahasiswa), dan lembaga lainnya pada suatu Universitas di tanah air ini. Seketika aksi demontrasi, mereka bermulut lantang, menentang kebijakan-kebijakan yang melindas masyarakat, hingga sampai-sampai mereka menjadi poros penentang dari masyarakat terhadap suatu partai yang berkuasa. Tapi kenyataannya, setelah diketahui bermulut besar oleh suatu partai tertentu, lalu mereka dipinang, mereka tak beralasan untuk menolak.
Meminjam kata-kata Cecep Darmawan (dosen ilmu politik UPI),“Kalau dulu pemuda itu satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, maka sekarang pemuda itu satu rupiah. Artinya, dipersatukan oleh rupiah untuk melakukan suatu tindakan”. Kita boleh merinding mendengarkan pernyataan itu. Tapi, pada kenyataannya memang ada banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk demonstrasi karena didalangi oleh seseorang, atau sekelompok orang. Lalu, dimanakah ldealisme kita sebagai mahasiswa?
Kedua, mahasiswa EGP(Emang Gue Pikirin). Mereka mahasiswa egosentris, yang hanya mengutamakan egonya, individualistik. Di kampus, mereka terkenal dengan study oriented-nya, sehingga tidak mau tahu dengan dengan permasalahan bangsanya. Efeknya, lahirlah para generasi muda yang rapuh jiwa nasionalismenya.
Hal itu seiring-sejalan dengan tradisi kampus-kampus di negeri ini yang seolah-olah menjadikan nilai sebagai segala-galanya, bukan keprofesionalan. Selanjutnya, juga mengisyaratkan bahwa mahasiswa seolah-olah diarahkan jadi buruh, bukan pencipta lapangan pekerjaan. Inilah kesalahan fatal kampus-kampus di Indonesia yang terkesan mengadopsi sistem pendidikan kapitalis. Akibatnya, alih-alih akan berpikir untuk negara, memikirkan dirinya sendiri, tidak klop-klop. Lalu, dimanakah ldealisme itu?
Harapan buat mahasiswa
Mahasiswa sebagai agent of change (agen perubah), sangat dirindukan membawa perubahan yang berarti buat negeri dan bangsa ini. Sesuai dengan idealisme awalnya, yaitu merindukan negara yang aman, damai, makmur, dan berwibawa. Mahasiswa sebagai moral force (kekuatan moral), sedang ditunggu gebrakannya dalam menuranikan bangsa ini, yang tentunya diawali dari mahasiswa itu sendiri.
Keterpurukan bangsa ini akan berakhir bila segenap mahasiswa berani kembali ke idealisme sejatinya. Hanya dengan itulah, harapan negeri ini akan masih ada. Mahasiswa, ujung tombak penyelamat bangsa.
(Penulis adalah Pengamat pergerakan Mahasiswa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan anda. semoga bermamfaat buat kebaikan anda. Tinggalkanlah sesuatu (komentar) yang membuat anda selalu kami kenang. salam dahsyat. penulis. ALI MARGOSIM CHANIAGO