Sabtu, 28 Februari 2009

100 Tahun mengenang Buya HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Ham

ka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kam

pung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau,

Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan

Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah

nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.


Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar

kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam

tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah

Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris

tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka

turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garis

keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.

Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama

besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan

jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka

memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.

Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar

Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir,

pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas

Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun

Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai

Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor

Doctor Hamka”.


Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal

dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti

namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.

Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim bin

Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di

Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di

Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau,

Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama

berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayah

Nagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.

Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelar

Tuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin Thariqat

Naqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yang

diberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yang

mewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannya

sebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasul

yang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalam

pemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesra

lantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikian

hormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.

Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itu

sebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengan

dimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori Haji

Miskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan

“Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhi

kemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikan

oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembali

agama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernah

diajarkan Rasulullah S.A.W.


Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orang

ulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima

Puluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) pada

masa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada

1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakan

pembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama

lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijuluki

Harimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yang

kemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalam

sejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulama

pemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalam

berdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mula

mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.


Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekah

yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembali

dari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapai

puncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib.

Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlah

diuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranya

Haji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaan

di dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada Tuanku

Pariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaan

keluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakat

Minangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknya

di masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidup

Hamka kemudian.


Nenek moyang hamka




DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANG

TUANKU IMAM BONJOL


Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di

masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi”

(1821-1837). Dia seorang ulama dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arif

yang datang ke Minangkabau dan bergiat dalam dakwah di “Ampat Koto Agam”

yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan Guguk. Tuanku Pariaman semula

tidak tertarik melibatkan diri dalam konflik melawan Belanda yang telah

dikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan Renceh. Beliau

menghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan memilih bergiat

dalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Harimau nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak heran

kalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidak

mendapat sambutan.


Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan Alam

Minangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkan

perlawanan di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakangerakan

dakwah terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjun

ke garis depan peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalam

semangat anti penjajahan.


Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi (ulama) terjadi

setelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April 1821. Setelah itu

peperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol

yang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusat

pertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkau

dan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas.

Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga daerah yang

pertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman.


Karena kalah dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotan

membuat beberapa kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda.

Matur pun kemudian ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukan

pengepungan ketat pada Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperangan

berkecamuk. Tuanku Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahan

dengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas karena medan

yang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari Jawa yang

merupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima perang

Pangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yang

berakhir pada 1820.

Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di bawah

pimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah dan

benteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komando

Tuanku Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya,

kekuatan sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnya

ditangkap dan sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.


Mengenang 100 Tahun HAMKA


Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu menaklukkan

Cubadak Lilin, Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasil

menangkap panglima perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi.

Tertangkapnya Tuanku Nan Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Koto

menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Termasuk di antara yang

menyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan, ulama tua paling berpengaruh

yang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda karena dianggap sebagai biang

pembakar semangat perlawanan para ulama.


Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang pertama

menghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir,

sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangan

dengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan Kaum

Paderi. Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping.

Karena banyak pimpinan Paderi yang datang menyerahkan diri, Belanda

dengan mudah menaklukkan Bonjol. Dari sana, Belanda mengirim pasukan

menjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping. Kolonel Elout yang menjadi

pemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkan

tampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda mengingat

usia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk menguasai

sepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah tunduk

kepada mereka.


Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam Bonjol

menyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regen (setingkat

Bupati) Alahan Panjang (Bonjol). Di luar sepengetahuan Belanda, peralihan

kekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku Imam Bonjol. Begitu Belanda

melanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah lainnya, Bonjol pun

kembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen mati dibunuh

Tuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuangan

Kaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahun

setelah penaklukkan pertama.


Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadap

Residen di Bukit Tinggi. Ini adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belanda

saat mengundang Pangeran Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian

melucuti senjata dan menangkap Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku Imam

Bonjol tidak mendapai Residen, melainkan satu kompi tentara Belanda yang

telah bersiaga dan langsung menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang,

lalu dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon.

Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama pemimpin

Kaum Paderi yang harum namanya itu meninggal.

Sedangkan Tuanku Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudian

dibebaskan setelah terjadi perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang.

Pemimpin-pemimpin Paderi banyak yang mendapat jabatan baru dari Belanda

sebagai Regen atau Laras, jabatan adat buatan Belanda setingkat Camat di

masa sekarang. Tawaran serupa diberikan kepada Tuanku Pariaman tetapi

dijawab bahwa beliau akan kembali saja ke kampung-kampung yang pernah

dikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.

HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARA

Di antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama terkenal

asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian menjadi

penguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur.

Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama Siti

Saerah. Buah perkawinan mereka adalah Amrullah dan Bayanullah.

Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M). Sejak kecil dia dididik

secara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku Guguk Katur. Kemudian

sejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman ke Koto Tuo untuk

dididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup, pada 1864 Amrullah

kembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama yakni Fakih Kisai.

Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu menghafal Al

Qur’an mendapat gelar Fakih. Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh,

kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil dari nama salah seorang di antara

tujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang mahsyur di masa Rasulullah.

Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkan

Thariqat Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudian

bergelar ulama tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwah

matrilineal Minangkabau, Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh

untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat. Seiring namanya yang kian

harum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu agamanya, sehingga

kemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i menetap di Mekah

dan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad

Hasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya yang

lebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi

yang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-i

yaitu Abdul Karim bin Amrullah.

Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan berpengaruh

sehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar kakeknya itu

yang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau kisah-kisah itu

berasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan berlebih

karena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul Karim

Amrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. 2)

Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang yang dipandang sebagai ulama

besar akan menarik suku-suku adat untuk “menjemput” sang ulama. Artinya,

ulama tersebut diminta menikahi salah seorang anak gadis dari suku yang

menjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang beberapa kali

“dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai beberapa

istri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang, Tuanku

Kisa-i memiliki tujuh anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ke

tiga pada 10 Februari 1879 yang diberi nama Muhammad Rasul.

Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan.

Orangtuanya pun mendidik secara ketat dalam kehidupan beragama karena di

pundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i. Sejak usia

tujuh tahun, Muhammad Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasa

pada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, paman beliau yang

bernama Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan, untuk

belajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Setahun

kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu belajar menulis dalam huruf

Arab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama Tuanku Said. Tuanku

Said adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol.

Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf

dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai Rotan,

Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.

Empat tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.

Pada 1894, saat berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekah

untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurut

catatan Hamka, guru utama Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib

Minangkabauwi. Beliau juga berguru kepada Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh

Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh

Hamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham pembaharuan

Islam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin.

Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji. Sesuai

tradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah.

Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senang

memperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilah

anakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnya

Haji Rasul.

Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh besar,

Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarang

kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepada

Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalangan

ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”3)

Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal dari

dunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah Syeikh

Ahmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dari

Minangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd Shaghir

Abdullah, ulama Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara”

menyebut juga dari sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulamaulama

Melayu lain yang terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalah

Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan Syeikh

Ahmad al-Fathani yang merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4)

Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan Hidup

Manuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebut

bahwa Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar

penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirut

yang tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah,

Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani

di Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literatur

lain mengenai hal ini.”5)

Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara 1312

H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulangan

beliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Haji Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agak

berdekatan tahun kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang sama

di Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji Abu

Bakar Hasan Muar, dari Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dari

Minangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, dan banyak lagi.

Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh golongan -

menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah sekarang

Islam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan yang

luar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang beliau

ke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalan

pemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharap

puteranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapati

di dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yang

bertentangan dengan tradisi Islam di Minangkabau.

Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang saja guru Haji

Rasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini kita

menyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian juga

kitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in,

Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”.

Namun telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama Syeikh

Muhammad Nur al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam

Sambas) adalah murid-murid utama Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid

Ridha, pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanya

sangat mempengaruhi pemahaman agama Muhammad Rasul. Haji Rasul sangat

mengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai

jalan pemikirannya, melebihi pendalaman ilmu dari kitab-kitab karangan Ibnu

Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad Abdul Wahhab. Dari sana,

Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan Syeikh Muhammad

Abduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya.

Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentangan

pemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya.

Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak segan

menyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darah

dagingnya sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaan

Hamka kuat tercermin dengan tidak menggambarkan pertentangan Tuan

Kisa-i dengan Muhammad Rasul secara personal. Hamka hanya mengurai

masalah perbedaan pemahaman agama yang memang harus disampaikan

sebagai pelajaran untuk umat.

Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung disambut dengan

gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalangan

ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh Ahmad

Khatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara

tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah

(Tuan Kisa-i) sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6)

Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarang

praktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (dan

hal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang ke

Minangkabau), tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatib

yang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenal

ialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yang

menyusun kitab “Miftah al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama Syeikh

Sulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul

banyak mendapat tentangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling keras

menentang adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh Ahmad

Khatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah.

Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuah

kitab yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh

Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu dibantah dengan menulis kitab tandingan

yang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi sangat marah

membaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagi

sebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyah

yang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwa

penentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar.

Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menulis

kitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasul

rajin menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka,

karya-karya ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama,

adalah kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah

15 judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga

1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. Menurut

Hamka, “Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’

dalam zamannya.”

Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang dianggap

“ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan masyarakat

Minang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang sangat

awal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di Malaysia

buku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga bukubuku

itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan,

Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!”.

Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai puncaknya

ketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al Munir”.

Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji Abdullah

Ahmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji Rasul

mengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran beliau

yang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam tradisional

sehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik tanya

jawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari namanya

setelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah.

Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat

luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah.

Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanya

penghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada Konferensi

Khilafah di Kairo, tahun 1926.7)

Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan pemerintahan kolonial

Belanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, dia terangterangan

menolak kewajiban seikerei (hormat bendera yang dilambangkan dengan

dewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’ dalam Islam sebagai bentuk

penghormatan kepada Kaisar Jepang.

Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudian

diaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakan

pembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanya

terasa di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi,

Kalimantan, Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepada

Haji Abdul Karim, “Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH.

Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan, tokoh gerakan pembaharuan Islam di

Jawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi pelajaran bagi murid-muridnya

dalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912.

Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. Ahmad

Dahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhami

berdirinya perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh muridmurid

H.A.K.A. pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulan

murid (thawalib) di berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing.

Di “Sumatera Thawalib” yang mengadopsi model sekolah modern ala

Muhammadiyah, H.A.K.A. mengajar sebagai guru kelas VII.

Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islam yang

diterbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalam

masa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbit

perdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang dari

setahun dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit.

Sayid Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya,

Muhammad Abduh telah mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir. Rasyid

Ridha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke Mesir kemudian

menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar” pada 1898

sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937 setelah

Rasyid Ridha wafat pada tahun yang sama.

Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura bernama

Muhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher bin

Muhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan Majalah

Islam “Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah Haji

Abdul Karim bin Tuanku Kisa-i. Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudian

terbitnya “Al Munir” di Padang.

Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dan

kepiawaiannya berdakwah melalui dunia jurnalistik ini kelak menurun kepada

Hamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus tahun setelah

Hamka dilahirkan.


KELUARGA HAJI RASUL


Ketika pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad

Khatib Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun

(1894-1901). Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “putera

mahkota” Tuanku Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo.

Bersamaan dengan itu, ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo.

Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul dinikahkan dengan Raihanah

binti Haji Zakaria dari suku Tanjung. Pernikahan ini berlangsung atas

permintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan gelora anak

muda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya, siasat

ayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengan

gadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar di

hati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guru

yang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorang

puteri yang dinamai Fathimah.

Sedang hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembali

mengutus Haji Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana.

Maka Haji Rasul pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkan

Fathimah dalam asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek

Fathimah) keberatan jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah.

Di Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib

Minangkabauwi untuk kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi Syeikh

Ahmad Khatib menolak maksud Haji Rasul karena dinilainya anak murid itu

sudah cukup memiliki ilmu untuk menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasi

mengajar ilmu agama dan hanya diijinkan menemui gurunya jika menemukan

persolan yang tak mampu dijawab sendiri oleh Haji Rasul.

Demikian gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannya

sebagai pengakuan bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekad

menetap lebih lama lagi di Mekah.

Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namun

di tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi lakilaki

yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu,

Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga lima

bulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T.

Haji Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliau

pun memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau dan

melanjutkan tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelah

mengerjakan haji pada 1906 dan memakai mengganti namanya dengan Abdul

Karim, beliau pulang.

Pembesar-pembesar suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungan

dengan keluarga Amrullah meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinya

yang bernama Siti Syafiah Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiah

telah ditunangkan dengan anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko,

pertunangan itu dibatalkan keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatan

dengan keluarga Amrullah. Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah.

Sebelumnya Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun,

mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal di masa kecil. Hanya anak

bungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang. Sedangkan

pernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau memperoleh

empat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu Abdul

Kudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama Abdul

Mu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan

Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasul

memperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernama

Abdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang,

dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang).

Haji Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah.

Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu yang lama. Pada tahun

1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihak

Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap

potensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu.

Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum

proklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya,

Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.


Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan

Jejak Ayah


Abdul Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan

13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi istimewa jika dikaitkan dengan

meninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik) pada Senin, 2 Rabi’ul

Akh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9 bulan 10 hari setelah

kakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri Tuanku Kisa-i yang

berusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata kepada Abdul Malik

bahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku Kisa-i daripada

Haji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu sebagai mahluk-Nya

yang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi terasa istimewa,

sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.




Masa Kecil


Di masa kecilnya Abdul Malik yang biasa dipanggil Malik, hidup di kampung

bersama ayah bundanya. Dia merupakan anak kesayangan Haji Rasul karena

sebagai anak lelaki tertua, Malik menjadi tumpuan untuk melanjutkan

kepemimpinan umat. Tetapi metode dakwah Syeikh Abdul Karim yang

cenderung keras dan tak kenal kompromi terbawa pula dalam cara beliau

mendidik anak-anaknya. Hal itu rupanya tidak begitu berkenan di hati Malik.

Ia tumbuh menjadi anak dengan jiwa pemberontak.

Sebagaimana umumnya anak-anak di Minangkabau, dia belajar mengaji

dan tidur di surau selain belajar pencak silat. Dia juga masuk sekolah desa

sampai kelas 2 tingkat dasar. Sore harinya ia belajar agama di Sekolah Diniyah

(sekolah agama-madrasah) yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labai El-

Yunusi ulama yang sepaham dengan Haji Rasul.8)

Oleh Hamka dilukiskan pada masa itu merupakan zaman yang seindahindahnya

pada dirinya. Pagi pergi ke sekolah dengan bergegas, supaya dapat

bermain sebelum bersekolah, sampai pukul sepuluh tengah hari. Kemudian

bermain-main lagi, bercari-carian (petak umpet), main galah, bergelut, bertinju,

main banting-bantingan, seperti layaknya anak-anak lainnya bermain.

Tapi kemudian masa kecilnya yang indah itu berakhir. Malik mengikuti

ayahandanya yang mengajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan

tinggal di sana. Ia berkesempatan belajar di perguruan Thawalib yang dipimpin

oleh ayahnya selama beberapa waktu, namun tak sampai tamat. Selama belajar

di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai. Malik sangat malas belajar

dan seringkali meninggalkan sekolahnya selama beberapa hari.

Malik berpembawaan romantis. Salah satu kesukaannya ialah mengembara

mengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan Kaba, yaitu

kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan

saluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain ialah menonton

film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yang

merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton. Melalui

hobbi itulah seringkali ia mendapat inspirasi untuk menulis.

Mengenai sifat pemberontak dan kesenangannya mengembara, Hamka dalam

salah satu bukunya berjudul “Falsafah Hidup” menulis, “Tetapi entah bagaimana,

dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau.... Jiwa beliau adalah

jiwa diktator.... Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang,

menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak mau

mengaji, saya bosan mendengar kitab Fiqh yang diajarkan di Thawalib.”

Selain sifat keras Haji Rasul dalam mendidik anak-anaknya, kerenggangan

hubungan itu bisa juga dipahami oleh karena kesibukan ayahnya sebagai da’i

kelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Haji Rasul kerap meninggalkan

rumah dalam waktu lama untuk memenuhi panggilan dakwah, sehingga Malik

kecil lebih dekat kepada salah seorang pamannya.

Saat Malik berusia 12 tahun, kedua orangtuanya bercerai. Hal ini berakibat

terhadap perkembangan kejiwaannya. Malik merasa kurang mendapatkan kasih

sayang yang sewajarnya dari kedua orangtuanya. Apalagi ibunya pun kemudian

menikah lagi dengan orang lain. Perceraian itu juga mengakibatkan keretakan

hubungan keluarga besar ayah-ibunya.

Malik yang kemudian mengikuti ayahnya pindah ke Padang Panjang, harus

menghadapi cemoohan dari keluarga ayahnya sendiri. Menurut adat Minang,

seorang anak lelaki dianggap tidak pantas tinggal bersama ayahnya yang tidak

lagi beristrikan ibu kandungnya. Sebaliknya, untuk tinggal bersama ibunya pun

Malik tidak merasa nyaman, karena ada bapak tiri. Beruntung neneknya begitu

menyayangi Malik sejak bocah itu dilahirkan. Malik pun tinggal dan lebih

banyak menghabiskan masa kecil bersama Neneknya.

Kondisi Malik menimbulkan kekhawatiran yang mendalam pada ayahnya,

sebab seperti diutarakan sebelumnya, dia adalah tumpuan harapan Haji Rasul

untuk melanjutkan kepemimpinan umat. Haji Rasul pun mengirim Malik belajar

pada Syeikh Ibrahim Musa di Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi. Saat

itulah minat baca Malik mulai nampak. Ia rajin menyimak karya-karya sastra

baik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab. Kegemarannya membaca

serta mengembara sambil menikmati sekaligus mengagumi keindahan panorama

alam Minangkabau yang memiliki bukit-bukit, gunung-gunung dan danau

ditambah lingkungan keluarga yang taat beragama, telah menjadi dasar pertama

bagi pertumbuhan jiwa seorang Abdul Malik di masa mudanya.9)


Menemukan Jati Diri


Sepanjang abad ke-19, pembaharuan Islam merupakan wacana dominan

di Mekah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini meluas

sampai ke Ranah Minang, dibawa oleh banyak ulama negara-negara Melayu

yang mengkaji langsung ilmu agama di pusatnya, Mekah. Keadaan itu

mengancam posisi adat dan thareqat yang menjamur di Sumatera Barat sejak

abad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan.

Serangan pertama terhadap adat-thareqat datang bersama kepulangan tiga

ulama (Haji Miskin dan kawan-kawan) pada 1802. Penetrasi ajaran mereka

mengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledak

menyusul kepulangan ayah Abdul Malik dari Mekkah (1901 dan 1906), yang

mengibarkan bendera “Kaum Muda”, berhadapan dengan “Kaum Tua”, bahkan

ayahnya sendiri, Syekh Amrullah (Tuanku Kisa-i) yang menjadi pemimpin

thareqat Naqsabandiyah di Sumatera Barat.

Pada masa-masa seperti itulah Abdul Malik mulai menapaki dunia ilmu

pengetahuan (agama). Dia menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah.

Jejak-jejak Islam thareqat masih tersisa yang berhadap-hadapan dengan wacana

baru pembaharuan Islam. Kondisi demikian sangat mempengaruhi

perkembangan pribadi Abdul Malik karena pelaku-pelaku sentral sejarah

perkembangan Islam di Nusantara, khususnya Sumatera Barat, itu tak lain

kakek dan ayah kandungnya sendiri.

Pergesekan antara dunia kakek dan ayah mendorong Abdul Malik untuk

melampauinya. Walau hanya berbekal pendidikan formal yang minim, yakni

antara 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Sekolah

Diniyah di Parabek, kemudian dilanjutkan belajar di Sumatera Thawalib di Padang

Panjang yang didirikan murid-murid ayahnya, Abdul Malik memiliki kecerdasan

alami yang menojol. Kemampuan baca tulis (Arab, Latin, dan Jawi)-nya di atas

rata-rata. Dipicu keberjarakan dengan ayah dan etos perantauan Minangkabau,

mendorong Abdul Malik mengembara mencari jati diri.

Memasuki abad 20, di pulau Jawa mulai timbul gerakan-gerakan politik

dan keagamaan, seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Omar Said

Tjokroaminoto. Juga Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad

Dahlan di Yogyakarta, yang alirannya sejalan dengan paham pemikiran Haji

Rasul. Selain itu gerakan-gerakan nasionalis juga mulai timbul, kesemuanya

bertujuan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan

Soekarno. Bahkan aliran komunis juga muncul di Jawa dipelopori oleh Alimin,

Tan Malaka dan lain-lain. Berita-berita sekitar kebangkitan partai politik itu

telah sampai juga ke Minangkabau dan menjadi buah pembicaraan khalayak di

sana. Ini menjadi dorongan kuat bagi Abdul Malik sehingga pada 1924 ia

merantau ke Jawa dengan Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Abdul Malik menumpang di rumah pamannya Jakfar

Amrullah, seorang pedagang batik. Selama bermukim di sana, dia aktif

mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Organisasi Sarekat Islam, bahkan

masuk menjadi anggota organisasi yang kemudian menjadi partai politik itu.

Dalam beberapa hal ia belajar langsung pada H.O.S. Tjokroaminoto,

pimpinan Sarekat Islam. Abdul Malik juga mereguk pengetahuan sosiologi dari

Soerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari K.H. Mas Mansur, dan tafsir

dari Ki Bagus Hadikusumo. Di Jawa, Abdul Malik juga sempat mengembara

ke Bandung, bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yang

memberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah “Pembela Islam”.

Di luar PSI, Abdul malik aktif sebagai anggota Muhammadiyah, syarikat

keIslaman yang memiliki kesesuaian paham dengannya. Dia pun berkenalan

dan rajin mengikuti pengajian yang diberikan pemimpin-pemimpin

Muhammadiyah seperti K.H.Mochtar, K.H.Fachruddin, dan lain-lain.

Beberapa lama di Yogyakarta, Abdul Malik menemui A.R.Sutan Mansur,

suami kakak tirinya Fatimah (anak Haji Rasul dari isteri pertama) di Pekalongan.

Abdul Malik pun berguru pada A.R.Sutan Mansur yang waktu itu menjabat

sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan.

Keterlibatan Abdul Malik dalam jaringan organisasi dan penambahan

pengetahuan yang demikian luas membentuknya menjadi ulama muda berjiwa

kosmopolitan. Namun, sebagai putera Minang, Abdul Malik tetap memiliki

etos puritan dalam keluwesan pergaulan disertai kelapangan jiwa yang

mengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap toleran

dan estetik dalam usia yang masih belia.

Pada 1925, Abdul Malik kembali ke Minang. Walau masih dalam usia 17

tahun, ia telah menjadi ulama muda yang disegani. Keterpikatannya pada seni

dakwah di atas panggung yang ditemuinya pada orator-orator ulung di Jawa,

membuatnya merintis kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya. Abdul

Malik rajin mencatat dan merangkum pidato kawan-kawannya, kemudian

diterbitkan menjadi buku. Dia sendiri yang menjadi editor buku yang diberi judul

Khatib ul-Ummah”. Inilah karya perdana Abdul Malik sebagai seorang penulis.

Melihat perkembangan buah hatinya yang demikian hebat dalam hal tulis

menulis dan pidato, Haji Rasul sangat gembira. Namun menuruti adatnya

yang keras, yang tercetus justru sebuah kritik tajam, “Pidato-pidato saja adalah

percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidatopidatomu

itu”.10)

Dua tahun di kampung halaman, pada 1927 Abdul Malik pergi tanpa pamit

kepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam

pengetahuan (Islam) pada ulama-ulama di sana. Dia sengaja kabur dari rumah

sebagai jawaban atas kritik ayahnya. Dari Mekah, dia pun berkirim surat kepada

ayahnya, memberitahukan bahwa dia telah menunaikan ibadah haji.

Di Mekah, Abdul Malik sempat bekerja di perusahaan percetakanpenerbitan

milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi yang merupakan mertua

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam dan Khatib Masjidil Haram,

guru besar ayahnya.

Di tempatnya bekerja itu, “kegilaan” Abdul Malik dalam membaca kitab

terpenuhi dengan melimpahnya kitab-kitab klasik, buku-buku dan majalah–

buletin Islam dalam Bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Tujuannya bekerja, selain agar bisa menumpang hidup adalah untuk menyerap

ilmu Syeikh Ahmad Khatib yang begitu diidolakan ayahnya.

Setelah menunaikan haji (sejak saat itu menyandang nama Haji Abdul Malik

Karim Amrullah - Hamka), dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia

berjumpa H. Agus Salim. Tokoh Muhammadiyah itu menyarankan agar Hamka

segera pulang ke Tanah Air. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut

pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih

baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri,” kata Agus Salim.11)

Kata-kata pemimpin besar itu oleh Hamka dianggap sebagai suatu

“titah”. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim

di Mekah. Tetapi bukannya pulang ke Padang Panjang di mana ayahnya

tinggal, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuh kapal yang

membawanya pulang.


Produktif Menulis


Di Medan Hamka mulai mengirimkan tulisan-tulisannya untuk Surat kabar

Pembela Islam di Bandung dan berkorespondensi dengan M. Natsir, A. Hassan,

dan tokoh pembaruan Islam lainnya. Hamka juga bekerja di Harian Pelita Andalas

dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekah.

Tulisannya diminati banyak orang, di antaranya adalah Muhammad Ismail Lubis,

pemilik majalah Seruan Islam. Hamka pun diminta menuliskan karangan lainnya

di majalah tersebut. Selain itu Hamka kerap mengirimkan tulisannya ke Suara

Muhammadiyah yang dipimpin H.Fakhruddin di Yogyakarta.

Walau sangat produktif, namun penghargaan atas karya tulis pada masa itu

masih demikian kecil, tak cukup untuk menutup biaya hidup. Hamka bernasib

baik, ia diminta oleh pedagang-pedagang kecil yang umumnya para perantau

dari Sumatera Barat untuk menjadi guru agama. Dari pekerjaannya sebagai

guru ini ia mendapatkan honor yang cukup untuk membiayai hidupnya.

Pada tahun 1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa

Minangkabau “Si Sabariyah”. Di tahun yang sama ia pun memimpin majalah

Kemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Kemudian setahun

berikutnya, 1929 terbit pula buku-bukunya yang lain; “Agama dan Perempuan”,

Pembela Islam”, “Adat Minangkabau”, “Agama Islam” (buku ini disita polisi

penjajah karena dianggap berbahaya bagi pemerintah jajahan), “Kepentingan

Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj”, dan berbagai karya lainnya.

Si Sabariyah” laris di pasaran. Kenyataan ini membuat semangat Hamka

dalam berdakwah melalui tulisan menyala-nyala karena karya-karyanya

mendapat apresiasi luas. Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa dalam

melaksanakan kewajiban dakwah, Hamka memiliki kualitas tersendiri karena

menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.

Karya Hamka yang menjadi tonggak kepujanggaannya adalah “Laila

Majnun” yang diilhami sebuah cerita pendek berjudul “Majdulin” yang dibacanya

dalam sebuah majalah Arab. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit

utama pada waktu itu. Hal ini sangat membesarkan hati Hamka yang masih

berusia muda dan semakin memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan

mengarang. Dari karya-karyanya yang kemudian diterbitkan Balai Pustaka,

nama Hamka pun dalam khasanah sastra nasional tercatat sebagai salah satu

pujangga angkatan Balai Pustaka.


Rujuk, lalu Kembali Merantau


Nama besar keluarga Amrullah, serta tradisi setempat yang selalu

menyambut kepulangan seorang Haji dari Mekah untuk diserap ilmunya,

membuat keputusan Hamka tidak langsung pulang ke Padang Panjang menuai

kecaman. Orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat

memintanya pulang. Namun Hamka membangkang, bahkan ia membalas suratsurat

itu dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya Hamka kembali ke

kampung. Surat Hamka itu pun diadukan kepada Haji Rasul.

Tak kalah cerdik, ulama tua itu mengirim A.R.Sutan Mansur untuk menjemput

Hamka. Karisma dan pribadi lembut guru sekaligus kakak iparnya itu membuat

Hamka luluh. Akhirnya ia pulang ke kampung dan diterima ayahnya dengan rasa

haru yang dalam. Kata Haji Rasul, “Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitu

mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu

maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.”

Hamka berurai air mendapat sambutan sehangat itu dari seorang ayah yang

sepanjang masa mudanya terasa begitu jauh dari kehidupannya. Hapus sudah

figur seorang ayah yang keras dan dingin. Terbuka pula tabir kasih sayang yang

selama itu digunakan Haji Rasul untuk mendidik anak kesayangannya itu.

Hubungan Hamka yang oleh ayahnya kerap disebut sebagai “Si Bujang Jauh”

yang penuh warna dengan Haji Rasul, kelak melahirkan sebuah karya biografi

yang demikian kuat yang oleh Hamka diberi judul “Ayahku”. Buku ini adalah

karya apresiatif sebagai simbol cintanya pada Sang Ayah.

Hamka kembali terlibat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Pada 1928,

Hamka diangkat menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

Di sana, Hamka mendirikan sekolah-madrasah “Kulliyatul Muballighin” bersamasama

pengurus Muhammadiyah lainnya. Dia ditunjuk sebagai “Kepala Sekolah”

sekaligus pengajarnya. Pada 1929, saat berusia 21 tahun Hamka dinikahkan

dengan seorang gadis bernama Siti Raham.

Keterlibatannya dalam pengurus Muhammadiyah membuat hubungannya

dengan tokoh-tokoh organisasi semakin erat. Hamka kerap berdiskusi dan

belajar pada Agus Salim mengenai tauhid, filsafat, tasauf, dan politik. Haji

Agus Salim adalah seorang ulama yang begitu luas penguasaan bidang

pengetahuan sehingga pantas menyandang gelar pujangga, filosof, jurnalis,

orator, politikus, sekaligus pemimpin rakyat. Di mata Hamka, beliau adalah

seorang manusia yang nilainya lebih dari sejuta manusia. Sehingga menurutnya,

guru besarnya itu adalah seorang pembaharu Islam yang kedudukannya sama

   23

Mengenang 100 Tahun HAMKA

dengan Muhammad Abduh di Mesir.

Pada 1930, Konggres Muhammadiyah ke XIX dilaksanakan di Bukittinggi.

Pada saat itulah Hamka menunjukkan kepiawaiannya berorasi dalam pidato

yang berjudul “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Pidato memikat dalam

konggres nasional yang dihadiri ribuan utusan Muhammadiyah dari daerahdaerah

lain itu secara tidak resmi telah menempatkan Hamka sebagai Singa

Podium baru.

Setahun kemudian Hamka diutus ke Makassar untuk berdakwah di sana

oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Selain itu, Hamka

mengemban tugas khusus mempersiapkan Konggres Muhammadiyah ke 21

(Mei 1932) di Makassar. Di sana Hamka menetap selama tiga tahun. Selama

di Makassar, selain menjadi muballigh, Hamka tetap rajin menulis artikel

untuk dikirim ke beberapa surat kabar di Jakarta dan Medan. Hamka juga

menerbitkan jurnal pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan berjudul

al-Mahdi” yang redaksi sekaligus dan administrasinya diurus sendiri. Jurnal

itu sayangnya hanya bertahan 9 kali penerbitan. Selain “al-Mahdi” Hamka

juga menerbitkan majalah “Tentera” periode waktu dan tempat yang sama

yang terbit 4 edisi.

Di Muhammadiyah, karir Hamka terus berlanjut hingga pada Konferensi

Muhammadiyah Sumatera Barat (1946), Hamka terpilih menjadi ketua Majlis

Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, menggantikan S.Y. Sutan

Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Jabatan itu diembannya

sampai 1949.

Pada Konggres-konggres Muhammadiyah berikutnya, Hamka diangkat

sebagai anggota Pimpinan Pusat. Tetapi pada Konggres tahun 1971 yang

kembali diadakan di Makassar, Hamka tidak lagi bersedia duduk dalam

Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingat faktor usia. Sejak saat itu, beliau

ditetapkan sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terus

melekat padanya sampai akhir hayatnya.



Pujangga, Pejuang

Pada tahun 1936 tugasnya di Makassar berakhir. Hamka pun diminta oleh

teman-temannya ke Medan untuk memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”.

Saat itu, tiras majalah Islam yang terbit bulanan itu baru 500 eksemplar. Di

bawah kepemimpinannya (1936-1942) “Pedoman Masyarakat” berkembang

dengan pesat, tiras majalah mencapai 4.000 eksemplar. Jumlah terbitan yang

pada masa itu tergolong sangat besar. Di “Pedoman Masyarakat” inilah Haji

Abdul Malik Karim Amrullah pertama kali menggunakan nama pena Hamka

(akronim namanya) yang kemudian menjadi nama populernya.

Melalui majalah ini lahirlah karya-karya besar dalam lapangan agama,

filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang dimuat di Pedoman Masyarakat ada pula

yang ditulis lepas. Dalam bidang agama dan filsafat, karya Hamka antara lain

Tentang Bahagia” (yang dikemudian hari diterbitkan dengan judul; Tasauf

Moderen), “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, dan “Lembaga Budi”.

Melalui rubrik cerita bersambung di majalah yang dipimpinnya, Hamka

melahirkan karya-karya sastra jempolan. Di antaranya empat judul karya yang

ditulisnya bersamaan dalam rentang waktu tiga tahun (1937-1940), yakni “Di

Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck”, “Merantau ke

Deli”, dan “Di dalam Lembah Kehidupan”. Judul terakhir adalah sebuah kumpulan

cerita pendek. Selain keempat judul itu, Hamka juga menuliskan beberapa

karya sastra lain, di antaranya “Terusir”, “Keadilan Illahi”, dan banyak lagi.

Baik Majalah “Pedoman Masyarakat” maupun buku-buku agama dan karya

sastra Hamka kemudian tersebar dan dibaca luas di seluruh Indonesia, juga

dibaca banyak orang di Malaysia.

Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia. Pada tahun itu pula “Pedoman

Masyarakat” berhenti penerbitannya.

Seperti ayahnya, Hamka adalah sosok ulama yang konsisten (istiqomah)

dalam beragama. Namun sebagai cucu buyut Tuanku Pariaman, panglima

perang Tuanku Imam Bonjol semasa Perang Paderi, darah nasionalis juga

mengalir kental di tubuhnya. Hal itu dibuktikannya dengan terjun langsung ke

garis depan Laskar Gerilya Kemerdekaan yang menentang kembalinya penjajah

Belanda ke Indonesia di Medan pada 1945. Masa-masa konflik ini, pidatopidato

Hamka yang garang berhasil membakar semangat para pejuang laiknya

motivator perjuangan ulung Bung Tomo yang berhasil membakar api perlawanan

semesta terhadap tentara NICA di Surabaya. Pada 1947, Hamka diangkat

menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.

Pada 1950, Hamka memulai karir sebagai Pegawai Kementrian Agama.

Beliau bertugas sebagai dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, yakni di

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam

Jakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Universitas Islam

Sumatera Utara, dan bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum dan Falsafah

Muhammadiyah di Padang Panjang.

Di tahun itu juga Hamka menunaikan ibadah haji ke dua dan melanjtkan

lawatan ke beberapa negara Arab. Ibadah haji ke dua dan kenang-kenangan

atas perjalanan ini dituliskannya menjadi tiga buah buku: “Mandi Cahaya di

Tanah Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”.

Dua tahun kemudian Hamka diundang Departemen Luar Negeri Amerika

Serikat untuk berkunjung ke negara itu. Hamka melawat selama empat bulan

di Amerika Serikat. Beliau berangkat melalui Eropa dan pulangnya singgah

sebentar di Australia. Dari lawatannya ini, kembali Hamka menghasilkan buku

berjudul “4 Bulan di Amerika” sebagai buah tangan.

Pada 1958 Hamka menjadi anggota delegasi Indonesia untuk Simposium

Islam di Lahore. Dari sana Hamka melanjutkan lawatan ke Mesir. Perjalanan

kali ini merupakan penggal sejarah yang sangat penting dalam kehidupan Hamka

seperti yang akan diuraikan pada bagian berikut.

Tahun 1959 Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat”.

Majalah yang didirikannya bersama K.H. Fakih Usman itu dibreidel oleh

Soekarno pada 17 Agustus 1960 karena memuat artikel berjudul “Demokrasi

Kita” tulisan Muhammad Hatta yang mengkritik tajam konsep Demokrasi

Terpimpin Soekarno.


Al-Azhar, Pusaka Peninggalan Buya Hamka


Pada 1956, Hamka selesai membangun sebuah rumah kediaman di bilangan

Kebayoran Baru. Di depan rumah itu terdapat sebuah lapangan luas yang

disediakan pemerintah untuk membangun sebuah masjid agung. Rencana

pembangunan masjid agung itu membuat Hamka begitu gembira karena baginya

apabila sebuah masjid berada di depan rumah, maka akan mudah mendidik

anak-anak dalam kehidupan Islami.

Dua tahun kemudian, sebuah peristiwa penting terjadi dalam hidup Hamka.

Dia diundang oleh Universitas Punjab di Lahore, Pakistan, untuk menghadiri

sebuah seminar Islam. Di sanalah Hamka berkenalan dengan seorang pemikir

besar Islam Dr. Muhammad al-Bahay.

Usai mengikuti seminar, Hamka melanjutakan lawatan ke Mesir atas

undangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat,

salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi Mesir” di samping Presiden

Jamal Abdel Nasser. Kedudukan Hamka sebagai anggota Pimpinan

Muhammadiyah, rupanya telah membuat beliau begitu dikenal oleh masyarakat

Mesir, terutama di kalangan akademisi Universitas Al-Azhar. Namanya juga

harum di lingkungan “As-Syubbanul Muslimun”, organisasi Islam yang berhaluan

sama dengan Muhammadiyah. Hal ini tak terlepas dari peran Duta Besar Mesir

di Indonesia pada waktu itu, Sayyid Ali Fahmi al-Amrousi dan Atase

Kebudayaan Indonesia di Mesir, Raden Hidayat, yang memperkenalkan Hamka

kepada masyarakat Mesir. Lawatan Hamka ke Mesir kebetulan bertepatan

dengan kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke sana sehingga Saiyid Ali

Fahmi al-Amrousi pun tengah berada di negerinya.

Maka, terjadilah kesepakatan antara Mu’tamar Islamy dan “As-Syubbanul

Muslimun” dengan Universitas Al-Azhar untuk mengundang Hamka

mengadakan suatu muhadharah (ceramah) di gedung As-Syubbanul Muslimun guna

memperkenalkan lebih jauh pandangan hidup Hamka kepada masyarakat

akademisi dan pergerakan di Mesir. Buya menyambut hangat undangan tersebut

dan menyiapkan sebuah makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduh

di Indonesia dan Malaya”.

Ceramah Hamka beroleh sambutan luar biasa. Dari sebuah acara yang

semula direncanakan sederhana saja, ceramah itu telah berubah menjadi sebuah

studium generale (kuliah umum) yang dihadiri sarjana-sarjana dan ulama kenamaan

Mesir. Di antara yang hadir, tercatat nama-nama seperti Prof. Dr. Osman Amin,

Dr. Muhammad Al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Ketua Umum As-Syubbanul

Muslimun, dan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar (kala itu) Syeikh Mahmoud

Syaltout. Mereka memberikan apresiasi begitu tinggi kepada orang Indonesia

yang ternyata lebih mendalami dan memahami pemikiran Muhammad Abduh

daripada kebanyakan orang Mesir sendiri.

Usai kuliah umum yang menghebohkan itu, Hamka melanjutkan lawatan

ke Saudi Arabia memenuhi undangan Raja Saud. Kesempatan itu digunakan

Hamka untuk berziarah ke makam Rasulullah di Madinah dalam kapasitas

sebagai tamu negara.

Beberapa hari di Madinah, Raja Saud mengundang Buya sebagai tamu pribadi

Raja Arab Saudi itu. Sedang menjadi tamu raja, tiba-tiba datang pula kawat

dari Mesir yang disampaikan oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi al-

Amrousi yang berisi rencana Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar

ilmiah tertinggi kepada Buya Hamka, yakni gelar Ustadzyyah Fakhriyah (Doctor

Honoris Causa).

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah itu merupakan penghargaan kehormatan

akademis pertama yang diberikan Universitas Al-Azhar kepada orang yang

dianggap patut menerimanya. Penghargaan itu terwujud atas usulan Kepada

Departemen Kebudayaan Al-Azhar, Dr. Muhammad Al Bahay. Namun upacara

pemberian gelar kehormatan itu tidak bisa segera dilaksanakan meskipun

Hamka telah kembali ke Mesir dari kunjungannya ke Saudi Arabia disebabkan

panitia perlu menyusun protokol pelantikan yang sebelumnya belum pernah

dilakukan. Bahkan rencananya, pemberian gelar Doctor Honoris Causa itu

akan disahkan oleh Jamal Abdel Nasser, Presiden Mesir waktu itu. Al-Bahay

meminta Buya Hamka agar bersabar tinggal lebih lama di Mesir karena segala

persiapan pelantikan itu butuh waktu satu hingga dua minggu.

Minggu-minggu akhir bulan Februari 1958 itu, suhu politik di Mesir

menghangat dengan penggabungan Republik Mesir dengan Republik Suriah.

Suasana gegap gempita dan kesibukan luar biasa mewarnai hari-hari yang dipenuhi

demonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Kesibukan itu melanda juga ke dalam

Universitas Al-Azhar sehingga rencana penganugerahan gelar Ustadzyyah Fakhriyah

kepada Hamka terhambat. Pada akhirnya, disampaikan kepada Hamka untuk

menunggu hingga akhir bulan Ramadhan 1378 H (awal bulan April 1958).

Walau tak mudah bagi seorang Hamka untuk melakukan perjalanan ke luar

negeri, tetapi pada waktu itu beliau memutuskan untuk kembali lebih dahulu ke

Tanah Air karena krisis politik tengah terjadi di dalam negeri. Hamka mendapat

kabar kalau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telah

melakukan pemberontakan di Sumatera. Dan pada penghujung bulan Febriari

1958 itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah membom Painan yang terletak

di pesisir selatan Sumatera Barat. Mendapati Minangkabau, bumi kelahirannya

   28

dalam bahaya besar, Hamka yang memiliki jiwa pejuang memutuskan pulang

dan menunda urusan penganugerahan gelar kehormatan itu.

Sekembali ke Tanah Air, Hamka mendapati pembangunan Masjid Agung

di depan rumah tinggalnya telah selesai tetapi belum boleh digunakan untuk

beribadah. Menurut Syamsurrijal, Walikota Jakarta Raya pada waktu itu yang

menjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Agung Kebayoran, masjid baru

bisa digunakan beribadah setelah diresmikan oleh Presiden Soekarno. Hamka

gusar. Beliau mendesak Syamsurrijal agar diperbolehkan menggunakan Masjid

Agung sambil menunggu kesediaan Presiden Soekarno meresmikannya.

Menurutnya, ruh masjid barulah menyala apabila dipakai guna beribadah.

Apalagi pada waktu itu telah datang bulan Ramadhan.

Demikianlah Hamka mulai melaksanakan shalat di Masjid Agung

Kebayoran Baru. Berangsur jamaah mulai ramai setelah pada awalnya hanya

diikuti 5 sampai 6 orang saja. Hamka pun secara tidak resmi telah diangkat

menjadi Imam Masjid Agung Kebayoran Baru. Selain memimpin shalat lima

waktu, setiap usai shalat Shubuh, Beliau mulai memberikan penjelasan

mengenai ayat-ayat Al Qur’an selama 45 menit kepada jamaah. Inilah cikal

bakal tersusunnya magnum opus Buya Hamka yang kelak dikenali sebagai kitab

Tafsir Al-Azhar.

Barangkali sejauh ini khalayak menilai kitab tafsir itulah puncak karya ulama

multi dimensi itu. Tetapi dalam pengantar yang dituliskan sendiri oleh Hamka

mengenai alasan di balik pemberian judul “Al-Azhar” pada kitab tafsirnya,

jelas tersirat bahwa terdapat suatu gagasan besar yang layak disebut sebagai

ruh perjuangan Buya Hamka dalam perjuangan Islam yang tidak akan pernah

berhenti sampai pada tersusunnya sebuah kitab tafsir lengkap belaka. Ruh

perjuangan itu tak lain sebuah institusi pergerakan Islam yang berpusat di Masjid

Agung Kebayoran yang kelak sama kita kenal sebagai Masjid Agung Al-Azhar.

Untuk lebih jelasnya, baik kita simak fragmen penting dalam kehidupan beliau

berikutnya.

Maret 1959 datang undangan dari Duta Besar Mesir yang baru, ialah Sayyid

Ali Fahmi kepada Hamka. Rupanya pemberian gelar Doctor Honoris Causa

oleh Universitas Al-Azhar kepada Hamka telah dilakukan dan bel (tabung

ijazah) berwarna biru pun disampaikan kepada Hamka dalam sebuah upacara

yang penuh khidmad di kantor Kedutaan Besar Mesir. Pada ijazah itu

tercantum keterangan “Raqam I”, artinya penghargaan gelar akademis itu

merupakan penghargaan pertama sejak Al-Azhar menetapkan peraturan

mengenainya. Hamka adalah orang pertama yang mendapat gelar H.C. dari

Universitas Al-Azhar, Kairo.

Inilah momentum penting dalam sejarah perjuangan Hamka. Dalam

pengantar Tafsir Al-Azhar, mengenai hal itu Hamka menulis, “Ijazah yang amat

penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh keharuan. Sebab

dia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syeikh Jami’

Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilang

selama dalam pimpinan beliau. Itulah Syeikh Mahmoud Syaltout, (beluai meninggal

pada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung

asy-Syubbanul Muslimun” itu.”12)

Hamka menulis surat kepada Mahdoud Syaltout berisi pernyataan

terimakasih kepada Al-Azhar dan semua orang yang telah membantunya

memperoleh penghargaan itu. Surat itu dibalas oleh Syaikh Jami’ Al-Azhar

dengan menambahkan pujian, “Sesungguhnya tatkala Al-Azhar memutuskan hendak

memberikan penghargaan itu, ialah karena dia telah mengetahui betapa perjuangan tuan

selama ini dalam usaha menegakkan kesatuan kaum Muslimin di Asia Timur, dan

sebagaimana pula tuan telah memancangkan tonggak-tonggak untuk kekokohan Islam.

Maka Al-Azhar sangatlah merasa berbahagia karena telah meletakkan kepercayaan

itu ke atas diri tuan dan dianggapnyalah tuan sebagai puteranya yang setia kepadanya

dan kepada pokok-pokok pendirian Islam, yang Al-Azhar telah berjuang selama ini

untuk mengibarkan benderanya.”13)

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah beserta surat Mahmoud Syaltout itu begitu

memotivasi Hamka untuk melanjutkan syiar Islam yang berpusat di Masjid

Agung Kebayoran Baru. Hamka semakin sering menyampaikan pelajaran tafsir

usai shalat Shubuh. Disebabkan oleh bermacam kegiatan pengajian dan

khutbah-khutbah Jum’at Hamka yang memukau, Masjid Agung Kebayoran

Baru pun mulai dipadati jama’ah.

Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. Muhammad

Al-Bahay (sosok yang diyakini Hamka berada di balik sukses Mahmoud Syaltout

memajukan Al-Azhar) berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah

satu agenda kunjungan adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru.

Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, Mahmoud

Syaltout dalam sambutannya antara lain menyatakan, “Bahwa mulai hari ini,

saya sebagai Syeikh (Rektor) dari Jami’ Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama

Al-Azhar”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-

Azhar di Kairo.” Sejak saat itu, semua orang sepakat melekatkan nama Masjid

Agung Al- Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran Baru.

Diluar segala macam kesibukannya yang luar biasa, Hamka terus

melanjutkan memberikan pelajaran tafsir di Masjid Agung Al -Azhar. Januari

1962, Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya,

menerbitkan sebuah majalah bernama “Gema Islam” di mana Hamka menjadi

pemimpin redaksinya. Segala kegiatan Masjid Agung, terutama pelajaran tafsir

oleh Hamka dimuat secara berkala di dalam majalah itu. Luasnya peredaran

“Gema Islam” membuat kegiatan menyampaikan tafsir ba’da shalat Shubuh

diikuti oleh takmir-takmir masjid lain di Indonesia. Rangkaian pelajaran tafsir

ba’da shubuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberi judul

Tafsir Al-Azhar, merujuk kepada tempat di mana tafsir itu diberikan sekaligus

penghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir). Tulis Hamka, “Atas usul

dari tata usaha majalah di waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran

Tafsir” waktu Shubuh itu dimuatlah di dalam majalah Gema Islam tersebut. Langsung

saya berikan nama baginya Tafsir Al-Azhar, sebab “Tafsir” ini timbul di dalam Masjid

Agung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syeikh Jami’ Al-Azhar sendiri.

Merangkaplah dia sebagai alamat terimakasih saya atas penghargaan yang diberikan

oleh Al-Azhar kepada diri saya.”14)

Terbetik dalam benak Hamka ketika mulai menyusun Tafsir Al-Azhar untuk

menjadikannya sebagai peninggalan pusaka bagi bangsa dan ummat muslimin

Indonesia sepeninggalnya kelak dari alam fana ini. Terlebih lagi, begitu besar

dorongan di hatinya untuk mempersembahkan Tafsir Al-Azhar sebagai “balasan”

atas penghargaan yang telah diterimanya dari Universitas Al-Azhar, Kairo.

Penghargaan, yang menurut Hamka, disebabkan oleh rasa cinta orang Mesir

kepada seorang ulamanya (Muhammad Abduh) yang dipandang sebagai pelopor

pembaharuan Islam di Mesir. Oleh karenanya, penghargaan tertinggi pantas

diberikan kepada orang yang memuliakan dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran

Muhammad Abduh, yaitu kepada Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Jika disimak sedemikian dalam rasa syukur Hamka atas gelar Ustadzyyah

Fakhriyah yang diterimanya dari Universitas Al-Azhar tidak aenh kalau kerja

kerasnya menyusun Tafsir pun didedikasikan kepada Universitas Al-Azhar.

Dan jika diingat kembali pesan Syaikh Mahmoud Syaltout agar Masjid Agung

Kebayoran Baru kelak menjadi pusat gerakan pembaharuan Islam seperti halnya

Al-Azhar di Mesir, maka ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka

dari Masjid Agung Al-Azhar merupakan pusaka peninggalan Hamka yang

nilainya sama besar dengan kitab Tafsir Al-Azhar itu sendiri.

Tafsir Al-Azhar, yang diakui sebagai karya terbesar Hamka telah selesai

disusun melalui berbagai rintangan yang tidak mudah sebagaimana akan diuraikan

selanjutnya. Tetapi ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka belum

dan tidak akan pernah selesai. Menjadi kewajiban generasi selanjutnyalah untuk

tidak sekadar mewarisi kebesaran Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tetapi

melanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan Islam di bumi Indonesia dan

menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat pergerakannya.


Tafsir Al-Azhar, Hikmah di Balik Fitnah


Sejak menjadi Imam Masjid, Buya Hamka memulai memberikan pelajaran

tafsir Al Qur’an tiap selesai memimpin shalat subuh. Surat yang pertama kali

dikaji adalah surat Al-Kahfi, juzu XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya, yang

dimulai sejak akhir 1958, kemudian dimuat secara berkala di Majalah Gema

Islam terbitan Perpustakaan Al Azhar mulai Januari 1962 hingga Januari 1964.

Mulai saat itu terbetik di hati Hamka untuk menyusun tafsir dalam kitabkitab

yang kemudian diberi judul Tafsir Al Azhar. Pemberian judul kitab

tafsirnya itu tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Agung Al Azhar seperti

diuraikan sebelumnya. Tetapi, meski telah berjalan selama enam tahun, belum

juga seluruh ayat-ayat Al Qur’an selesai ditafsirkan.

27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang oleh Hamka dikiaskan

dengan kalimat, “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisa

menahannya.”15) Siang itu, usai memberikan pengajian mingguan di Masjid

Agung, Buya “dijemput” empat orang polisi berpakaian preman, lengkap

dengan Surat Perintah Penahanan Sementara. Di dalamnya disebutkan bahwa

Hamka diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963. Tanpa

keterangan lebih jelas, Hamka digelandang ke Departemen Angkatan

Kepolisian (DEPAK), ditahan selama 2 jam, kemudian dibawa ke Cimacan,

Puncak, Bogor. Empat hari Hamka ditahan di sebuah bungalow Polisi di

Cimacan. Pada 31 Januari 1964, beliau dipindahan ke Sekolah Kepolisian

Sukabumi setelah sebelumnya sempat mampir di sebuah bu-ngalow lain di

Puncak di mana beliau bersua tokoh Masyumi H. Kasman Singodimedjo

yang telah dua bulan ditahan rejim Soekarno.

Di tahanan Sukabumi Hamka diinterogasi secara maraton dengan

bermacam cara, baik dengan bujukan lembut maupun dengan paksaan,

sindiran, ejekan, hingga hinaan agar mengakui tuduhan yang dialamatkan

kepadanya. Masa-masa yang tak pernah terbayangkan bakal menimpa seorang

ulama yang “lurus-lurus saja” itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tapi

walau berat ujian yang harus ditanggung, Hamka tak putus menjalani ibadah

wajib puasa Ramadhan!

Tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah melakukan rapat-rapat gelap,

menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno dan

Pemerintah Republik Indonesia yang sah.16) Salah satu biang tuduhan adalah

kuliahnya pada Oktober 1963 di Institut Agama Islam Negeri (sekarang

Universitas Islam Negeri) Ciputat yang dianggap menghasut mahasiswa untuk

melanjutkan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureuh, M. Natsir dan

Syafruddin Prawiranegara. Rupanya, di antara segelintir saja mahasiswa yang

mengikuti kuliah Ilmu Tasauf yang disampaikan Hamka, terdapat intel rejim

Soekarno.17)

Berbagai tuduhan lain, di antaranya menjalin kontak dengan kaki tangan

Tengku Abdul Rahman dalam lawatan beliau ke Pontianak pada September

1963, mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 untuk

merencanakan pembunuhan terhadap Menteri Agama waktu itu H. Saifuddin

Zuhri dan melakukan kudeta, dan sebagainya. Intinya, aktivitas dakwah Buya

Hamka di tengah masyarakat dianggap sebagai gerakan kontra revolusi yang

ketentuan hukum bagi pelakunya ditetapkan melalui surat Penetapan

Presiden.

Dari Sukabumi, Hamka kembali dipindah ke Cimacan bersama seorang

tahanan lain bernama Ghazali Sahlan (dituduh sebagai komplotan makar Hamka

dan kawan-kawan) pada 8 April 1964. Tiga bulan Buya Hamka ditahan di sana,

lalu atas permintaan beliau karena cuaca Puncak yang dingin mengganggu

kesehatannya, Hamka dipindahkan ke Megamendung pada 15 Juni. Hamka baru

dibebaskan setelah terjadi peristiwa pemberontakan PKI, 30 September 1965.

Keseluruhan, Hamka ditahan selama dua tahun empat bulan, hanya karena

perbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenai

Pancasila sebagai dasar/falsafah negara. Mengenai peristiwa kelam ini, Hamka

menulis, “Melihat tanggal mulai Pen.Pres. itu diundangkan, beratlah persangkaan

saya bahwa Pen.Pres. ini yang terutama ditujukan ialah kepada diri saya sendiri. Sebab

saya dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 14 Oktober 1963, sedang

Pen.Pres. itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.” 18)

Fitnah keji disusul dengan penahanan tanpa peradilan itu tak pelak adalah

puncak ketegangan hubungan antara Buya Hampa dengan Presiden Soekarno.

Padahal, sesuai sifat Buya Hamka yang romantis, secara pribadi Presiden

Soekarno adalah sosok yang dikaguminya dan pernah pula disanjung

sedemikian tingginya oleh Hamka. Petikan kisah kunjungan Presiden

Soekarno ke Sumatera (Barat) pada Juni 1948 ketika seluruh rakyat Sumatera

mengangkat senjata menentang kembalinya penjajah Belanda di mana Hamka

terjun ke garis depan, sangat pas melukiskan romantika hubungan pribadi

Hamka-Soekarno.19)

Dalam ziarah Presiden ke Sumatera itulah Hamka yang telah lama mengenal

dan saling mengagumi dengan Soekarno memiliki kesempatan bertatap muka

langsung tatkala Presiden RI itu menginspeksi pasukan TNI dan Laskar

Kemerdekaan Sumatera.

Usai inspeksi, dilangsungkan acara ramah tamah, dilanjutkan pemberian

tanda mata oleh tokoh-tokoh Sumatera kepada Soekarno. Beragam cendera

mata, mulai keris, selendang, tongkat bergagang emas, dan sebagainya, telah

bertumpuk di meja sebagai hadiah kepada Soekarno. Bahkan Gubernur

Sumatera waktu itu, Mr. Teuku Mohd. Daud atas nama Propinsi Sumatera

menghadiahkan sebuah kapal terbang. Setelah itu acara hendak ditutup, namun

Hamka menghampiri MC dan menyatakan akan memberikan hadiah pula.

Mutahar, sang MC, buru-buru berseru, “Paduka yang mulia, penutup dari

pertemuan ini adalah Pujangga Hamka hendak memberikan hadiahnya!”

Maka tampillah Hamka ke depan berhadapan dengan Soekarno. Beliau lalu

berkata dengan lantang, “Paduka yang mulia, saya pun akan memberikan hadiah,

tetapi bukan barang, bukan tongkat emas, bukan kapal terbang! Itu semuanya tak ada

padaku. Tapi aku akan memberikan hadiah yang lebih mahal dari itu semua. Dan

semua orang tak sanggup memberikannya. Hanya aku yang sanggup. Yang akan

kuhadiahkan adalah rangkuman kata-kata!”

Hamka melanjutkan bahwa rangkuman kata-kata itu adalah ungkapan

perasaan TNI dan Barisan-barisan Laskar Kemerdekaan kepada Presidennya

yang tak sanggup mereka ungkapkan. Dan hanya Hamka lah yang sanggup

mewakili mereka semua untuk mengungkapkannya, maka Hamka pun

membacakan puisi tanpa teks berikut:

Sansai Jua Aku Sudahnya

Sahabatku Amat

Adakah engkau masih teringat

Tatkala kita berdiri rapat

Berbaris-baris memberi hormat,

Kupegang teguh gagang bedilku

Pandang tenang hadap ke muka

Tidak bergerik tidak bergerak

Tidak melengong ke kiri kanan

Laksana patung tegak di taman

Kecil rasanya bumi Allah

Entah di mana aku berdiri

Entah di langit entah di bumi

Kuingat diri

Kurangkah lagi

Beliau pun lalu di depan kita

Memeriksa barisan kita

Hening bening, renap gema

Tenang tegap ia melangkah

Terdengar rumput terpijak

Aku pun tak tahu lagi

Apa yang akan terjadi

Tiba-tiba tak kusangka

Ditentang aku beliau tegak

Matanya tenang jernih dalam

Dilindung alis hitam lebat

Menembus jantung menimbul cinta

Dipegangnya daguku

Diperbaikinya hadapku

   35

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dilekatkannya kancing bajuku

Dan beliaupun pergi

Terdengar rumput terpijak

....................................

Amat, Oh Amat!

Hilang segala kepayahan

Hilang segala kepenatan

Lupa segala penderitaan

Amat-Amat!

Kalau begini naga-naganya

Hanyut juga aku sudahnya

Sansai juga aku sudahnya

Matanya. lidahnya, telunjuknya

Mengerahkan daku menentang tofan

Memandang murah harga maut

Oh, Amat!

Jika kutewas sekali ini

Di medan perang di garis depan

Hanya sebuah pesan harapku

Kuburkan aku dengan bajuku

Bekas dijamah tangan beliau.

Puisi itu telah mengungkap seberapa besar kekaguman dan kemesraan

hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Namun perbedaan pandangan

politik, juga perbedaan tajam kedua pribadi besar itu dalam pemahaman agama

Islam di kemudian hari, telah membawa Hamka tertimpa fitnah besar dalam

sejarah hidupnya. Fitnah yang di baliknya ternyata tersemayam sebuah hikmah!

Selama dua tahun lebih dalam tahanan, Hamka yang terkucil dari dunia

ramai justru merasakan kedekatan yang demikian intim dengan Sang Khalik.

Seluruh waktunya tercurah untuk menjalankan ibadah, mendekatkan diri

kepada Sumber dari Segala Sumber Kehidupan. Dalam suasana yang demikian

transendental, Buya Hamka melanjutkan penafsiran Al Qur’an hingga berhasil

menyusunnya menjadi sebuah kitab lengkap 30 Juz Tafsir Al-Azhar.

Dengan rendah hati Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atas

dirinya, rasa-rasanya sulit bagi beliau menyelesaikan pekerjaan besar itu

mengingat faktor usia dan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah.

Salah seorang putera beliau pernah mengusulkan agar pada pengantar kitab

tafsirnya, Hamka menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah

menjatuhkan fitnah kepadanya. Sebab, lantaran fitnah itu beliau ditahan, dan

karena penahanan itu Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Hamka

menolak. Beliau menegaskan untuk tetap berpegang pada pendirian tauhid;

hanya mengucap syukur dan puji-pujian bagi Allah semata.

Rasa syukur yang demikian besar telah menghapus segala sakit hati. Sejarah

mencatat, ketika Soekarno wafat, Buya Hamkalah yang memimpin shalat jenazah

Presiden pertama RI, kawan sekaligus lawan dalam kehidupannya itu.


Masukkan Daftarmu Konsistensi Ulama yang Mampu Melahirkan Umat


Hamka dikenal sebagai ulama yang memegang teguh prinsip beragama.

Sikap istiqamah sebagai mahluk Allah ini menempati kedudukan tertinggi di

jiwanya, melebihi segala kedudukan di dunia. Hal ini tercermin dalam karir

politik dan kepegawaian beliau.

Sarekat Islam, organisasi yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam (PSI)

di mana Hamka menjadi salah satu anggotanya, sejak 1925 berafiliasi dengan

organisasi Islam lainnya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)

pada 1950. Karier politiknya berpuncak ketika bergabung menjadi Juru

Kampanye Masyumi. Melalui pemilu 1955 yang dinilai sebagai pemilu paling

demokratis sepanjang sejarah Republik Indonesia, Hamka terpilih menjadi salah

seorang anggota konstituante dari Masyumi.

Sebagai anggota konstitante, pada sidang di Bandung (1957) Hamka

menyampaikan pidato menolak gagasan Presiden Soekarno yang ingin

menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Dewan Konstituante kemudian

dibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian juga

membubarkan Masyumi dan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960.

Sebelum Masyumi dibubarkan, Hamka yang sejak 1950 berstatus sebagai

pegawai negeri di Kementrian Agama, terlebih dahulu berhadapan dengan rejim

Soekarno yang melarang pegawai negeri gologan “F” merangkap sebagai

anggota partai. Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri

(yang pada waktu itu gajinya merupakan tulang punggung keluarga) dan

melanjutkan karir politiknya di Masyumi. Sebelum mengundurkan diri, Hamka

bertanya kepada istrinya, pilihan mana yang hendak diambil: tetap menjadi

PNS dan menikmati pendapatan yang pasti atau melanjutkan perjuangan untuk

umat melalui parpol. Dengan ketabahan seorang istri pejuang, pendamping

hidupnya menjawab tegas, “Jadi Hamka sajalah!”

Perseteruannya dengan Presiden Soekarno terus berlanjut. Pada 17

Agustus 1960, majalah “Panji Masyarakat” yang diterbitkannya sebagai corong

dakwah Islam dibreidel. Puncaknya pada 1964 Hamka ditangkap dengan

tuduhan melanggar Penetapan Presiden Anti Subversi seperti diuraikan pada

bagian sebelumnya.

Tahun 1966 rejim Soekarno tumbang, digantikan rejim Orde Baru di bawah

Presiden Soeharto. Hamka bebas dan kembali menerbitkan “Panji Masyarakat”

pada 1967. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan

Musyawarah Kebajikan Nasional, Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia,

dan Anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Karismanya sebagai ulama mengantarnya terpilih sebagai Ketua Majlis

Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada 1981, jabatan itu diletakkannya

setelah fatwa larangan mengahadiri Natal Bersama bagi umat Islam ditentang

rejim Soeharto. Soeharto mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara, Menteri

Agama, agar Hamka mencabut fatwa tersebut. Tetapi kepada Alamsyah,

Hamka menegaskan kembali prinsipnya yang menempatkan kebenaran agama

di atas segala kepentingan dunia dan memilih meletakkan jabatan demi

mempertahankan keyakinan bahwa fatwa yang dikeluarkannya adalah haq.

Sejak saat itu Hamka lebih banyak mengabdikan hidupnya untuk

membangun umat yang berpusat di Masjid Agung Al-Azhar. Melalui Al-Azhar,

Hamka yang acap disebut dengan panggilan Buya (Abuya=ayah) Hamka

berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas Islam moderen. Oleh

H. Syuhada Bachri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hamka disebut

sebagai ulama yang mampu melahirkan ummat dengan empat karakteristik

utama: memiliki iman yang bisa melahirkan keikhlasan, memiliki ilmu yang

bisa melahirkan amal, memili akhlak yang bisa melahirkan keteladanan, dan

memiliki wawasan kekinian yang bisa melahirkan semangat dakwah. Empat

karakteristik itulah yang melekat pada sosok Buya Hamka sebagai ulama.

Karakteristik Buya Hamka itu terekam dengan sangat jelas pada puisi yang

dituliskannya secara khusus untuk Muhammad Natsir. Puisi ini ditulis Buya

Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir

yang mengurai kelemahan sistem kehidupan buatan manusia dan dengan tegas

menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar

negara RI.


Kepada Saudaraku M. Natsir


Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu .......!

H. Hussein Umar, Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang

telah mangkat pada 19 April 2007, adalah salah seorang pengagum Buya Hamka

dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Prof. Kasman Singodimedjo.

Sebagaimana Hamka dan Kasman Singodimedjo, Hussein Umar juga seorang

orator ulung yang tak hanya cakap berpidato di atas panggung, namun seluruh

waktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan untuk dakwah.

Dua jam sebelum dibawa ke rumah sakit sehari sebelum beliau dipanggil

pulang ke haribaan Allah, Hussein Umar bercerita tentang tokoh-tokoh yang

dikaguminya itu kepada Adian Husaini, aktifis muda Dewan Dakwah. Adian

mencatat, salah satu hal yang ditekankan Hussein Umar adalah puisi Hamka

yang ditulis untuk M. Natsir di atas. Berikut catatan Adian Husaini yang

dipublikasikannya melalui situs www.hidayatullah.com.

Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,”Sudah baca puisi Hamka

yang ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante?”

Saya jawab, “Belum!”

Ia lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah buku berjudul

“Islam Sebagai Dasar Negara”, karya Moh. Natsir, terbitan Dewan Dakwah

Islamiyah Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai orang yang

rajin dan telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting.

“Ini bacalah!,” ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang tertera dalam

bagian depan buku “Islam sebagai Dasar Negara”.

Saya pun terpana membaca puisi tersebut, kata demi kata, baris demi baris.

Inilah puisi gubahan Hamka yang diberi judul “Kepada Saudaraku M. Natsir”.

Puisi ini ditulis Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957,

setelah mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante.

Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang bergetar, Bang

Hussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka: Dan aku pun

masukkan, dalam Daftarmu!


Ulama istimewa itu kembali menemui Sang Khaliq sewaktu berusia 73

tahun lima bulan, bertepatan dengan tanggal 24 Juli 1981 pukul 10.41.08 w.i.b.

Beliau wafat dengan tenang disksikan oleh segenap keluarga, sahabat, dan

kawan-kawan seperjuangan. wallahualam bisshowab(dari ebook 100 Tahun Buya Hamka)

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Pak Ali

    Waduh bagus dan bermanfaat sekali tulisan Bapak ini, saya suka sekali membacanya. Semoga ada tulisan Bapak yang lain yang bisa menambah pengetahuan kami dibidang sejarah.

    Wassalam
    Amsyahril

    BalasHapus

Terimakasih atas kunjungan anda. semoga bermamfaat buat kebaikan anda. Tinggalkanlah sesuatu (komentar) yang membuat anda selalu kami kenang. salam dahsyat. penulis. ALI MARGOSIM CHANIAGO