Sabtu, 28 Februari 2009

Orasi Fajar, Semangat Kebangkitan!

oleh Ali Margosim Chaniago

Rabu, 04 juni 2008
Diambang fajar menyongsong Shubuh. Pukul empat tepat oleh jam dinding di Wisma Al kautsar. Rumah kontrakan kami, mahasiswa elektro Undip. Di kontrakan itu kami berjumlah sepuluh orang. Aku melangkah menuju Masjid Istiqomah yang berjarak seperempat kilometer dari wismaku itu. Angin dingin merasuk ke hati, seolah-olah sekujur tubuhku hendak membeku. Dingin, membuatku pucat pasi. Dengan tubuh menggigil kuteruskan jua langkah yang terbata-bata itu.
Daun-daun pepohonan, daun-daun bunga meliuk-liuk berirama diterpa angin fajar. Padanya menetes banyak titik air. Dan tak hanya itu, titik-titik kecil hujan pun terasa menimpa kulitku yang kuning langsat ini. Kutatap langit lazuardi hitam pekat seolah-olah menumpahkan air bah ke kelurahan kecil kami ini. Hatiku berdecak gamang, mengingatkanku akan kekerdilan diriku yang menatap seketika itu.
Kulanjutkan langkahku lebih cepat, sembari berharap hujan tidak turun di pagi ini, supaya Masjid seramai hari-hari sebelumnya.
Sebentar lagi aku sampai. Kembali kutatap langit. Ia masih seperti tadi. Si raksasa hitam legam itu tidur menutupi planet manusia ini. Titik-titik hujan pun makin terasa, dan hembusan angin makin kuat, menggoyangkan pohon-pohon disepanjang jalan, bunga-bunga indah dan lampu-lampu pijar, pernik-pernik dinding rumah bergoyang-goyang. Aku makin bersiaga, siap-siap berlari bila air bah langit menimpa dari ubun-ubun kepala.
Sudah jauh aku berjalan dan semakin dekat dengan Masjid, belum seorang pun juga kutemui yang membersamaiku menuju Masjid. Tikus-tikus berlarian menuju lorong-lorong air. Ukurannya besar-besar, hanya saja aku tak tahu mengapa kucing-kucing disini tidak begitu agresif. Para kucing cenderung mengacuhkan tubuh-tubuh gemuk dan segar tikus-tikus itu. Para jangkrik tak kalah pula, ia menyanyi dan bersahutan. Para kodok pun bertembang dengan suaranya yang serak, dan bagi pemula terutama mahasiswa baru mendengarkannya bisa membuat bulu kuduk berdiri, dan bisa tidak tidur semalaman .
“Pada kemanakah mereka?” hatiku bertanya-tanya. “Mungkin belaian mimpi masih merasuki taman hidupnya!” “Ataukah merekah tidak berani keluar rumah, masih enggan dan akan membentangkan sajadah di rumah saja? Tidak tahu.”
Ah, aku tak ambil pusing. Aku yakin, sebentar lagi jamaah yang lain pada menyusul di belakangku. Kudapati Masjid masih tertutup. Masjid yang cukup besar itu, diterangi oleh empat buah lampu gantung disepanjang pinggirnya. Di dalam Masjid itu gelap. Ba’da shalat sunnah Tahiyatul Masjid. Gema adzan dari Masjid lain telah terdengar. Aku pun mulai mengumandangkan adzan. Jamaah satu persatu berdatangan. Tiba-tiba lampu listrik mati. Takmir Masjid tampak gelisah. Ia mencari dan mencari yang bisa dijadikan lampu disaat shalat didirikan. Waktu terus berjalan, tiga perempat Masjid itu telah berisi jamaah. Telah menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Kami tak lagi akan menunggu listrik hidup. Dibalik temaram cahaya sebatang lilin, shalat shubuh kami mulai. Pak Masruri, Takmir Masjid itu menjadi Imam kami.
“Allahu akbar,”takbiratul ihkram diucapkannya. Jamaah pun mengikuti. Aku merasa khusyuk dan berharap khusyuk hingga selesai. Seolah-olah juga begitu dengan jamaah yang lain, yang tak terdengar batuk, deheman. Tenang dan damai. Cahaya lilin yang redup, antara hidup dan mati. Sewaktu-waktu cahayanya seolah-olah menari-nari akibat diterpa angin lewat ventilasi dan pintu Masjid. Hal ini menjadi sensasi baru bagi kami.
Pada deti-detik selanjutnya...
Ketenangan menghilang. Mencekam. Istana kekhusyukan di hati-hati, terutama di hatiku bergetar hebat, guncah, hilang. Suasana baru datang. Ia melibas, menggoyangkan iman-iman di dada. Lantunan ayat nan indah dan fasih oleh sang Imam terdengar tak lagi dapat dinikmati. Keindahan itu bercampur noise-noise keras melengking seperti orasi Si Panglima perang. Bahkan gendang-gendang telinga minta ditutup dengan tangan. Semua jamaah menjadi gelisah dan susah bisa khusyuk. Kalaupun ada yang bisa khusyuk mungkin satu-dua orang. Dan itulah orang-orang yang luar biasa keimanannya. Beberapa diantara jamaah terpancing tertawa-tawa yang ditahan-tahan. Beberapa diantara mereka keluar dari shaf dan berwudhu lagi. Itulah akibat dari ketawa ditahan-tahan, dimana angin akan menumpuk di lambung, dan dengan energi dari ketawa tersebut, akhirnya angin tersebut tertekan kebawah. Lalu keluarlah sulfur itu alias kentut. Ada yang terus berdehem. Sang imam, kedengarannya pun tak bisa khusyuk. Sang Imam tak lagi indah bacaannya, beberapa kali ia salah dan pada ayat terakhir dari surat Al kaafirun. Terus berulang-ulang ia baca, dan seolah-lah tak tahu ayat terakhirnya. Inilah kondisi pada rakaat kedua, yang benar-benar parah dibanding rakaat pertama. Kemudian salam. Selesailah shalat shubuh kami tunaikan dengan perjuangan yang maha berat itu.
Listrik kembali menyala. Pak Masruri berputar 360 derajad menghadap ke arah kami. Kejengkelan hatinya terbersit dari percikan rona wajahnya yang hampir berkeriput itu. Jamaah yang lainnya tak sedikit pula seperti Pak Imam, kembali tertawa tanpa suara, terkikik-kikik, dan ada pula yang tak ambil pusing.
Jamaah ibu-ibu, rata-rata sudah pada usia berkepala lima. Beliau-beliau itu keluar duluan penuh kejengkelan dan membujuk orator ulung yang sudah berpoak-poak itu, bermandikan keringat, dan suaranya menjadi parau, seringkali terbatuk-batuk, dan sepertinya batuk-batuk keras itulah yang menghentikan orasinya berdurasi sepuluh menit itu.
Sesudah berzikir, aku tidak lagi melihat batang hidung sang orator ulung itu. Dari Pak Imam aku tahu, bahwa sang orator ulung itu sudah sering seperti itu.
Langit tak lagi mendung. Si raksasa hitam telah bangun dari tidurnya dan pergi entah kemana, yang jelas hari telah cerah. Fajar merekah menyemburatkan cahaya kemerahan bening diufuk timur. Indahnya, seolah-olah hingga ke petala langit ke-tujuh. Awan-awan berarakan putih laksana selendang sutera bidadari nan lembut, bersih, suci, dan amat indah.
Aku sedang merenung di atas bukit itu, di bawah pohon yang tak kuketahui namanya. Disanalah aku seolah-olah dalam pertapaan panjang. Sementara mentari bergerak meninggi dan selangkah mendekat ke ubun-ubunku.
Kembali kuingat-ingat, kueja-eja, dan kurenungkan isi pidato dari sang orator ulung tadi Shubuh. Sang orator yang luar biasa dan diluar kebiasaan. Shalat shubuhku tidak khusyuk dibuatnya. Sering terbayang olehku bagaimana gerakan tangannya, kesigapan langkahnya, kedipan dan lototan matanya, serta seberapa banyak air matanya yang keluar.
Aku mengakui, aku tidak khusyuk dalam shalatku tadi pagi. Aku memang masih jauh dari kesempurnaan. Orang sepertiku tiba-tiba bisa terenyuh, terhempas ke batu karang, lalu tenggelam kelubuk keruh hanya gara-gara orasi sang orator ulung yang diluar ambang batas kebiasaan itu.
Aku tak memikirkan jemaah yang lain. Seperti apakah mereka aku tak tahu pastinya. Yang jelas, sang orator yang meletup-letup itu tak bisa ditandingkan dengan Presiden kita, Ir.Soekarno dalam berpidato atau Barack Husein Obama, Zainuddin MZ dan lain lain. Tentulah sang orator yang satu ini menempati peringkat teratas. Sayangnya, ia berpidato tidak di istana negara, saat upacara kemerdekaan, Forum-forum resmi, dan mimbar-mimbar Masjid. Ia berpidato di halaman depan Masjid, dikala shubuh didirikan, gelap-gulita karena listrik mati dan rintik-rintik hujan.
SAUDARA ingin tahu apa yang disampaikannya:
Inilah yang masih kuingat:
Huuuu....!
Hai saudara-saudara yang masih ada nurani dihatimu. Dengarkanlah suara-suara kami yang terjerat, yang terjerit, yang terbesuk, yang terzholimi, yang tak terperhatikan, yang ternodai, yang terlukai, yang tertindas, yang terlindas, yang menangis, dan yang meraung-raung.
Assalamualaikum,
Semesta puja dan puji untuk Tuhan Penguasa Jagad Raya. Salam penghargaan untuk Kanjeng Pangeran Gusti Nabi Muhammad salallahi ’alaihi wassalam. Salam, kasih dan sayang untuk saudara-saudara yang sedang sujud kepada Tuhan. Dan aku yang sedang berorasi untuk mengingatkan kalian. Agar kalian tidak lupa diri. Sehingga kalian tahu, siapa diri kalian, kepada siapa kalian menyembah. He he he, itulah makanya saya tak pernah berputus asa berorasi.
Baiklah, saudara-saudara...
Demi keagungan langit dan kekacauan bumi. Kuwarnai matahari, bulan dan bintang-bintang dengan samudera kata-kata. Menenggelamkan benua-benua dan pulau-pulau membangun semestanya.( Intonasi suaranya meliuk-liuk seperti dedaunan diterpa angin, berjenjang-jenjang, berdecak-decak, berdentum-dentum)
Pada kesempatan ini akan kusampaikan tujuh bab untukmu duhai saudara...(diucap dengan meletup-letup)
BAB SATU : HARTA
Hei saudara-saudara yang sedang sujud. Apakah kalian mengira dengan sujud Tuhan langsung mengampuni dosa-dosamu. Semudah itukah, hah?He he he..., hi hi hi...Kalau hanya sujud yakni dengan kau bungkukkan tubuhmu hingga sama tinggilah kepalamu dengan kakimu. Itu percuma, he he he...Percuma saja. He he he...hi hi hi...,karena toh, hatimu belum kau sujudkan kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Besar, Allah swt.
Pernahkah kau menginap-merenungkan, bahwa masih sering kau menyembah harta. Kau gunakan kekuasaanmu demi harta. Aku tak ambil pusing apapun jabatanmu. Yang jelas, tak sedikit dari kalian menyembah bersama jabatanmu kepada harta. Siapa pun dirimu, ingatlah...
Tidakkah kalian mengakui, bahwa ini benar? Ah, DASAR MUNAFIK.
Saudara, karena kalian muslim yang taat, saya yakin bukanlah kalian orang yang saya maksud. Tapi, he he he...hi hi hi...saudara masih belum bisa berkilah berlepas diri dari tanggungan. Lihat tetangga, sanak famili kalian yang pejabat-pejabat, dari pejabat RT hingga juragan pejabat. Sudahkah kalian menjalankan tugas seperti saya menjalankan tugas. Saya mengingatkan kalian. Kalian sudah mengingatkan mereka? Itu tanggungan kalian, jangan sok-sok bodohlah. Jangan sok-sok tak tahu. Itu tanggungan kalian, yang akan menjadi dosa bagi kalian.
Hei...(kira-kira matanya melotot, suaranya melengking seolah-olah gendang telinga retak, sakitnya terasa bagi kami yang masih berdiri betul pada rakaat kedua)
Lihat,lihatlah oleh kalian...
Rumah mereka mengkilat, besar sebesar istana kepresidenan, berlantai-lantai, huh...aksesorisnya serba mewah. Mereka berjalan berjingkat-jingkat di dalamnya, bertele-telekan suami istri, mereka bersandal dalam rumah. Lihat saya, saya saja sekarang tidak punya alas kaki, ditanah yang bergetah ini, yang dingin ini.
Mereka, mereka masih berpeluk-pelukan suami istri, diatas springbad setebal roda truk fuso. Pakaian bagi mereka tak apa kurang bahan, padahal harganya melangit.
Saudara tahu, tahukah...
Mereka semua, mereka adalah penjilat. Mereka penghisap darah. Mereka pemakan bangkai. Darah dan bangkai kami(dengan nada mulai datar, ia memulai lagi)kau lihat sendiri tubuh-tubuh kami telah banyak yang kurus. Kami dilanda anemiah, busung lapar, kurang gizi. Lihatkan? Ya, ini gara-gara mereka.


BAB DUA : TAHTA
Tak lama lagi kita akan melaksanakan pesta demokrasi, katanya. Mereka ngomong memang seenaknya saja. Apa mereka tahu bahwa demokrasi itu ciptaan dan propaganda manusia-manusia dari keturunan yang suka berjemur di pantai, dari barat sana. Ihhh...Indonesia malah ikut-ikutan mereka dengan melengahkan apa yang telah kita miliki. Kau pasti tahu hati yang bersujud. Itu ayat-ayat yang kau baca. Amalkanlah. Ya, Alqur’an itulah yang menjadi pegangan kalian. Dasar bodoh!!
Ya, yang bodoh tentu bukan kalian kerena kalian masih bersujud dihadapannya. Tak usah berpanjang-panjang, saya katakan untuk pilgub nanti, pilihlah gubernur yang pakaiannya seperti kalian berpakaian, yang sujud seperti kalian bersujud, yang polos seperti polosnya kalian, tak tahu berbelit apalagi mudah beringsut. Yang baik akhlaknya, seperti kalian yang tahu macam-macam. Pilihlah gubernurmu dengan mata hatimu. Dan...jangan dengan mata kepala sebab kau pasti tertipu. Ingatlah...



BAB TIGA : WANITA
Wanita, ya kami wanita. Tubuh kami indah mempesona. Jangan pernah munafik bahwa laki-laki tidak senang dengan wanita. Memang, itu sudah kodrat. He he he. Tapi, tahukah kalian, kami terpaksa menjadi wanita-wanita komersial. Penghuni-penghuni hotel. Kami dipaksa dan terpaksa menjual tubuh. Tubuh kami digerenyangi. Sistem tidak memihak kepada kami, pemerintah diam dan membiarkan. Pemerintah lebih agresif mengurus poligami daripada tubuh kami yang kerap ditelanjangi dan terpaksa aborsi. Kemiskinan terus menjerat kami.
Kami tahu bahwa kami salah, tapi mau bagaimana lagi. Kami dibiarkan. Kami tahu islam adalah solusi. Tapi, pemerintah tak pernah bersungguh-sungguh untuk menjadi pemerintah yang islami.
Maka ini adalah tugas kalian, wahai yang bersujud...
Aku tersentak dari lamunanku. ”Tak semua orang gila itu gila, dan orang gila itu tak selalu gila. Dan semoga anak-anaknya segera membelikan lagi obatnya, dan shubuh besok Mbah Martini tak lagi berorasi...”
Aku berlari...

1 komentar:

  1. Anonim3/12/2009

    Hingga kini, sku selalu suka fajar, itulah pesona cerpenmu untukku.

    BalasHapus

Terimakasih atas kunjungan anda. semoga bermamfaat buat kebaikan anda. Tinggalkanlah sesuatu (komentar) yang membuat anda selalu kami kenang. salam dahsyat. penulis. ALI MARGOSIM CHANIAGO