Sabtu, 28 Februari 2009

Dikarenakan Kita Mau, Maka Kita Bisa!

oleh Ali Margosim Chaniago

Dua kisah pembangun jiwa kepahlawanan buat mereka yang tak ingin hidup apa adanya.

al kisah pertama, seorang gadis bernama Wilmarudo, berkebangsaan Jepang. Sejak lahir ia telah lumpuh. Pada umur 9 tahun, ia belum bisa berdiri, apalagi berjalan. Tapi, si Wilmarudo ini ngotot ke mamanya. Ia selalu minta untuk diperiksa perkembangan fisiknya. Dan, ia katakan bahwa ia harus bisa berjalan dengan normal. Orang tuanya mengikuti kemauan anaknya itu. Dan, para dokter selalu mengatakan bahwa Wilmarudo tidak akan bisa berjalan seumur hidupnya.

Kesedihan meliputi hati gadis kecil itu. Namum, ia tetap berpengharaapan besar. Wajahnya menunjukkan hal demikian. Suatu hari mamanya mengatakan,”Wilmarudo, kalau anda yakin bahwa anda pasti bisa berjalan, maka Tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya.” Wilmarudo mengatakan dengan optimis,”Kalau begitu, suatu saat aku akan menjadi pelari wanita tercepat di dunia...”

Semenjak itu, ia selalu berjalan dengan duduk. Ia lakukan dengan penuh kegigihan. Kemudian belajar berdiri. Dengan memakai alat bantu ia belajar berjalan dengan tertatih-tatih. Ia melakukan hal itu sepanjang waktu.

Beberapa tahun kemudian, ia belajar berlari. Setiap kali jatuh, ia pasti bangun. Semua ini memang tidak gampang, butuh waktu yang lama. Namum, semangat mengalahkan rasa capek, bosan, dan lamanya berproses.

Suatu ketika ada lomba lari wanita di Jepang. Gadis itu pun ikut. Ia berada pada urutan terakhir. Dalam event yang sama, ia gagal terus. Banyak orang mengatakan,”Dasar tidak tahu diri, sudah gagal terus, ikut juga.”

Wilmarudo tidak berhenti. Ia terus berjuang. Pada suatu saat, Tuhan mengabulkan doanya. Pada event yang sama, ia menjadi pelari tercepat di negaranya. Selanjutnuya, ia mampu mengumpulkan tiga medali Pelari Wanita Tercepat di dunia. Subhanallah....!(Dikutip dari kaset"Impian",Louis Tendean)

Al kisah kedua, dikutip dari cerita masyarakat Minang. Cerita ini dari mulut ke mulut. Tidak dibukukan. Namum, amat populer. Dulu, di negeri Minang seorang anak lelaki bernama Bujang. Bujang di pondokkan Orang tuanya di salah satu rumah Syekh. Bertahun sudah ia mengaji. Namum, juz ’amma pun juga belum khatam. Syekh pun kewalahan dengannya. Sudah nggak pintar, juga amat nakal.

Bujang amat kagum dengan teman-temannya yang fasih bacaan Alqur’annya. Tiap harinya, Si Bujang masih saja mengulangi Juz ’amma. Syekh pun kerap kali memintanya untuk mengulang kembali ke ”Alif Ba Ta...” Akhirnya, teman-teman seangkatannya memanggilnya dengan sapaan Ali Ba. Bujang merasa terpojokkan dengan sendirinya.

Suatu pagi Syekh memerintahkan para santri untuk kerja bakti. Bujang tidak ikut. Ia berdiam diri dalam kamar. Ia mengemas semua barang-barangnya. Kemudian, ia melarikan diri lewat pintu belakang. Perjalanan yang akan ia tempuh, amat jauh. Dengan berjalan kaki, akan menghabiskan waktu 10 jam. Jalan yang ditempuh berkerikil besar. Dan di pinggir-pinggir jalan tersebut adalah hutan lebat. Cukup berbahaya. Ketika itu masih banyak ditemukan beruang.

6 jam, ia telah berjalan. Badan terasa capek, dan terik matahari yang melemaskan. Ia mampir di pinggir jalan. Ia mencari tempat duduk yang aman. Terlihatlah olehnya ada terowongan, menyerupai gua kecil. Ia tertidur. Datanglah Syekh Burhanudin. Syekh itu berkata,”Bujang, lihatlah air yang menetes itu.(Syekh menunjuk ke air yang menetes, yang dibelakangi Bujang itu. Jaraknya dua meter dari Bujang). Syekh menghilang. Bujang terbangun. Tanpa banyak pikir, mimpi yang membekas di hatinya itu membuat ia penasaran. Ia amati air yang menetes tersebut. Sebuah tetesan air itu mampu melubangi batu hitam yang amat keras tersebut. Hingga pada batu itu terdapat kolam kecil, yang ada makluknya. Nasehat Syekh yang amat mendalam. Air yang begitu lembut, tetesannya kecil mampu melubangi batu hitam pekat yang amat keras ini...” inilah yang terbaca olehnya, ”Mungkin inilah yang dimaksud Syekh. Aku tidak boleh putus asa,” tambahnya lagi.

Ia merenung sambil memukulkan ranting-ranting kayu lapuk ke tanah. ”Mungkin 2 tahun sebelumnya adalah tahap persiapan bagiku untuk menjadi Qori terbaik di seantero negeri ini”. Bujang berbalik arah. Ia kembali lagi ke pondok ngajinya.

5 tahun kemudian, nagari kami kedatangan Qori Internasional sekaligus Buya yang amat halus dan bijak perkataannya. Buya muda tersebut baru pulang dari Mekah. Ia diundang raja Abdullah, dalam pesta syukuran raja. Dialah Qorinya. Buya muda itu bernama Abdullah Ali Mufidz.(Dikutip dari cerita masyarakat Minangkabau, dari mulut ke mulut)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan anda. semoga bermamfaat buat kebaikan anda. Tinggalkanlah sesuatu (komentar) yang membuat anda selalu kami kenang. salam dahsyat. penulis. ALI MARGOSIM CHANIAGO